Perjuangan itu tidak sia-sia.
Sabtu (11/04) sekira jam setengah satu siang. Selepas dhuhur. Hp nokia jadul dimeja kuraih. Sepotong nomer kutuju dan tak berapa lama….
“Halo. Sadat gimana?”
“Sudah aman pak. Dari procentase pemilih yang masuk, hanya butuh minimal 12000 suara. Sekarang udah masuk 8000. Pasti dapet”
“Okelah, gak sia-sia perjuangan kita. Yang aku tanyakan adalah lingkungan kita”
“Aman pak. Dari wilayah kita, RT 01 dan 02 di TPS 56. total undangan….”
“Bentar bentar. Aku ambil pulpen dulu” sergahku. “Yuk. Lanjut!”
“TPS 56 dari 488 DPT, datang dan milih 394 orang. Masuk ke suara Sadat 296. nyoblos partai 9. jumlah suara rusak 7. sementara, dari RT 03 & 04 yang di TPS 57 meskipun menghawatirkan karena ada golkar dan demokrat, tapi, masih unggul. Dari DPT 430 yang datang nyoblos 324. masuk suara Sadat 180 orang. Golkar…”
“Sip! Berarti kita berhasil menggiring warga di TPS 56 dengan 75% mendukung. Sementara 55% dari TPS 57. Angka yang cukup untuk kita sodorkan jika suatu saat kita butuh bantuan”
Secara singkat, aku bikin kalkulasi ringan. Ternyata, dari total kehadiran warga yang tadinya kenceng di golput alias tak mau milih. Lebih 80% orang berbongong-bondong datang ke Tempat pemungutan suara. Sementara dari TPS satunya lagi, memang lebih rengah. Hanya saja –aku bilang- masih diatas rata-rata. Yaitu 75%. Mengingat dari seorang temen di kawasan Jakarta utara, ada sebuah tps dengan kehadiran cuma 20%.
Kemudian, aku tulis pesan singkat. “Harapan tidak pernah datang dengan sendirinya. Harapan harus kita ciptakan. Dan, keyakinanku berkata, bahwa engkau saudaraku, mamapu menciptakan harapan itu. Selamat berjuang! Salam, Salwangga”. Sent.
Hanya dalam hitungan detik, HP kembali bunyi. “Terimakasih Pak Sal atas dukungannya. Semoga, harapan dapat kita ciptakan sesuai tujuan bersama.” Dari seorang caleg yang aku dukung. Yang namanya SADAT itu. Dan, tentu saja aku perjuangkan segenap kemampuan supaya dapet suara penuh dari lingkunganku sendiri.
Mungkin, ada yang bingung. Postingan apa ini, koq tentang suara segala.
Baiklah, aku coba petakan. Paling tidak ini adalah memoir atau kenang-kenangan perjuanganku atas seorang teman, saudara, tetangga, bahkan sahabat yang mencalonkan diri menjadi caleg di komplek aku tinggal.
Rumahku, type 21/60, berada dikawasan cikarang barat. Namanya, Telaga Murni. Memang sih, tidak ada telaganya. Konon, dari cerita masyarakat setempat, kawasan itu dulunya (tahunnya gak disebutin. Pokokny duluuuu aja) sebuah rawa. Nama kampungnya pun rawa keting. Ada sebuah pengembang tertarik dengan kawasan itu. Maka jadilah komplek hunian. Perumahan.
Blok A adalah sebuah hunian kecil dengan kapasitas 425 kepala keluarga. Karena tempatnya yang terpisah dengan blok Telaga Murni lama, maka dijadikanlah satu RW. Terdiri dari 4 RT. Di sini ada 2 TPS. Kalau satu dikhawatirkan tidak cukup menampung dafter pemilih tetap yang ada.
Secara, caleg ini tinggal sini juga. Maka, mau tidak mau atas dasar pertimbangan rasa kekeluargaan. Kami, harus mendukung si “sahabat” tadi. Meskipun, sejatinya beda partai. Tapi, bolehlah secara bertahap aku coba postingkan di blog ini. Sekali lagi, ini adalah kenang-kenangan buat aku sendiri. Siapa tahu ada blogger yang baca, terus, ada yang kenal dengan daerah itu.
Meskipun, ini adalah “kecil” dibanding puluhan ribu suara yang dibutuhkan untuk membetot si caleg agar dapat duduk di kursi dewan, tapi, suara kami sangat menentukan. Kenapa?
Secara logika gini. Itu caleg tinggal di komplek kami. Setiap hari boleh dikata aku lewat didepan rumah dia. Yang namanya kehormatan, aku bilang, dimulai dari rumah. Asalkan tuch caleg gak jelek-jelek amat, bisa kerjasama, profil kepemimpinan ada, tidak pelit, bisa berpolitik, bisa memperjuangkan hak-hak lingkungan, buruh, orang kecil. Tidak ada alasan untuk tidak didukung.
Akhirnya, dari yang semula banyak issue berhembus “tidak ada caleg yang layak. Semua partai sama saja. Orang-orangya gak bener. Tukang korupsi. Mendingan golput. Gak usah milih”, dan sebagainya. Lingkungan kami berhasil mebawa 80% warga untuk nyoblos dan ikut active dalam menggunakan hak pilihnya.
Oh iya, secara hukum, kebetulan saat ini aku masih menjabat jadi ketua RT. Jadi, inilah kenang-kenangan termanis yang dapat aku persembahkan buat “sejarah”. Meski kecil-kecilan. Tapi, guratan ini tak akan pernah lekang di pelupuk kami. Saya terutama. Kalau untuk menorehkan sejarah besar, aku kan bukan Ken Arok yang berani membunuh raja untuk kemudian berkuasa. Aku juga bukan orang nekat, yang tiba-tiba saja menodongkan pistol di kepala bapak presiden dan memaksa hengkang, lalu aku duduki kursinya.
Terpenting adalah, kami semua bisa kompak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar