Start lagi nih, alhamdulilah, udah sholat. Udah makan juga tentunya. Penting itu. Kalau gak makan mau mikir pake apa? Lapar mana bisa segar. Kecuali puasa loh ya. Kalau puasa emang udah niat.
Dari definisi maksiat dulu dah, aku mulai. Biar gak begitu nyimpang dari ruh tulisan ini. Intinya adalah, membenahi niat dalam segala tindakan dan perbuatan. Sebenarnya, tema tadi padi dari ustadz yusuf mansur sih ‘niat berhutang’, karena tidak bisa mengikuti full dari awal sampai akhir (kepotong subuhan) sekelumit aja aku coba nukilkan. Udah gitu, belum kelar jam setengah enam, udah mesti berangkat ke kantor. semoga tidak banyak yang hilang. Bagian-bagian penting aja. Seperlunya. Walau kadang, nulisku suka kemana-mana. He..he..he..
Untuk ukuran orang alim, maksiat bisa dikategorikan meninggalkan jamaah sholat wajib. Meninggalkan sunnah muakkadah juga. Hal-hal yang kayaknya biasa-biasa saja bagi saya, menurut ukuran mereka sudah dikategorikan maksiat. Atau juga tidak segera memenuhi panggilan adzan, panggilan sedekah, bahkan sunnah-sunnah kecil. Sekali lagi ini untuk orang alim loh ya. Kalau saya mah, masih jauh panggang dari api.
Beda lagi dengan orang biasa. Kalau kuping udah budeg dengan suara adzan –sesungguhnya bukan telinga atau mata yang buta, tetapi, hati merekalah yang tertutup oleh dosa-dosa mereka- suka mengabaikan. Beda lagi derajat maksiatnya. Mungkin, nyakitin orang. Melupakan hak-hak keluarga. Lalai dalam sholat. Atau juga jahilin teman. Tidak sehat dalam pergaulan, banyak lagi. Lebih cenderung kepada kelakuan sehari-hari. Pikir sendiri dah seperti apa. Sering telat masuk kantor, mangkir tanpa ijin, termasuk juga kali ya.
Lantas, untuk ukuran orang yang dibawah standard. Maksiat bisa dikategorikan dengan nipu, nilep, ngrampok, judi, maen perempuan, selingkuh. Atau juga bagi yang tidak kenal Tuhan. Mungkin, kalau udah zina baru dikategorikan perbuatan maksiat.
Beda-beda ukuran. Kalau mau menghancurkan rumah, tak perlu pakai palu sebenarnya sih. Cukup dosa aja banyak-banyakin. Dijamin hancur dengan sendirinya. Luar dalam.
Untuk mengejar yang fifety-fifety tadi memang berat kalau sendirian. Caranya? Pakai amalah orang lain. Apalagi kalau ngejarnya secara berjamaah. Lebih cepet lagi tuch. Baru deh, setelah itu, do’a gampang banget dikabulin. Hati menjadi lebih tenang. Jiwa menjadi lebih jernih. Dengan Tuhan kayaknya jadi deket banget. Apa-apa yang tidak baik, disingkirin tuch sama Tuhan. Tanpa perlu diminta, apa-apa yang berguna, langsung dikasihin gitu aja. Tuhan itu maha bijaksana, bukan maha pemaksa.
Misalnya,
Sering-sering ngajak orang berbuat baik. Ini salah satu cara saya tempuh. Meskipun hanya melalui tulisan. Ajakan sholat tepat waktu, insya allah kebaikan juga. Nganjurin sunnah qobliyah ba’diyah juga gitu. Dhuha. Sholat malam. Puasa sunnah. Hanya saja, anjuran atau ajakan terasa lebih berbobot kalau si penganjur juga ngejalanin.
Makanya, saya suka bilang (sama diri-sendiri), Insya Allah ini bukan riya’ bukan pamer. Bukan sum’ah. Ngasih tahu kalau sebelum masuk kantor dhuha dulu, minimal udah mengajak secara halus. Kalaupun ada yang tidak sreg, tidak suka, biarin aja. Toch yang banyak dosanya saya, yang banyak hutangnya saya, yang banyak lalai dan lupa saya. Yang banyak gelisahnya saya. Yang pengin perbaikan juga saya. Untuk urusan ibadah tak perlu segan dan sungkan. Serahin saja sama Allah, soal penilaian ini.
Dalam hal memakai amalan orang lain ini, minimal, kalau yang saya ajak terus melaksanakan ajakan itu, saya kecipratan juga kebaikannya. Pahalanya. Semakin cepat dech fifety-fifety kecapai.
Kalau ada yang pengin balance juga (biar hidup gak kebanyakan masalah –batin), ajak sebanyak mungkin temen atau orang untuk ini.
Apalagi kalau ada penghafal alqur’an. Waw! Manjur dah pahalanya. Mintain fatehah sekali aja, pahalanya (kebaikannya) lipat 700. bukan sepuluh lagi. Hitung aja tuch fatehah ada berapa huruf?
Atau juga, kalau ada sobat yang jadi imam sholat. Selesai sholat bilang “saya kebanyakan dosa nih. akibatnya kelilit utang juga. Hati sering reah. Was-was. Rumah rasanya panas, istri marah-marah melulu. Anak susah diatur. Bawaannya ngelawan aja sama orang tua. Kayaknya dosa saya sudah makin ngegunung tuch. Mohon dengan segala kerendahan hati bacaan fatehah dari semua jamaah untuk kebaikan saya. Semoga saya lekas mendapat kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala. Alfatehah!” Luar biasa!
Lantas, ada juga orang yang berkata “ustadz, saya sudah dhuha, udah tahajjud, qobliyah ba’diyah. Tetap aja masalah tak kunjung usai. Makin runyam aja kayaknya. Anak saya masih SMP makin bengal. Susah ditegur. Boro-boro diatur. Kira-kira kemana amalan-amalan saya?
Ini dia. Mesti dikejar dulu fifety-fifety itu. Larinya? Ya, biar balance dulu. Ibarat, orang masih banyak hutang koq, begitu (sadar) mulai nabung udah minta jadi simpanan. Mesti bayar dulu tuch hutang.
Contoh gampang deh. Setiap hari memakai karunia Allah (mata bisa melihat, mulut tidak bisu, tangan bisa digerakkan, jantung bisa berfungsi normal, dan masih banyak lagi) berapa kali aja tuch.
Allah tidak minta banyak. Hanya kita disuruh dhuha sehari dua rokaat minimal. Hitung dah, dari akil baliq sampai sekarang sudah berapa hari tidak dhuha. “Bayar dulu tuch. Kejar!” kata Ustadz Yusuf Mansur. Aku ketawa ngakak sendirian didepan tivi saat dengar ini. “Iya dah, gue ngaku” kata saya.
Sejenak, aku tinggalkan tivi. Sambil makan lontong sayur (dibeliin istri) aku tetap memperhatikan kajian ‘nikmatnya sedekah’ pagi ini.
Sedikit menyimpang dari kajian. Aku kasih tahu sedikit rahasia ‘dapur’ ku. Istri sebenarnya benci banget sama buku. Apalagi kalau dirumah aku sampai pegang buku. Baca. Sampai-sampai mesti sembunyi-sembunyi kalau mau beli buku. Alasan klasik sich sebenarnya, “uang belanja aja mesti dipangkas pangkas. Giliran beli buku royal banget” katanya.
Sekira sebulan atau dua bulan lalu ada kejadian sangat surprise buat saya. “Ayah. Beliin buku tentang fiqih wanita dong? Buku kumpulan hadits Riyadush Shalihin juga” katanya.
Subhanallah! Tasbih saya dalam hati. kontan saat itu juga. Salah satu munajad dalam dhuha saya dikabulkan. Sore berikutnya, pulang kantor langsung mampir toko buku. Dua buku (untuk istri) langsung saya beli. Sekaligus aku juga beli – tiga. Hanya saja karena, Riyadush Shalihin terlalu berat, aku beliin aja bukunya Dr Aidh AlQarni tentang ‘menjadi wanita paling bahagia’. He..he.he.. Total habis 375 ribu. Setiap waktu luang, istri jadi suka pegang buku. Sering nanya, klo ini gimana, klo ini gimana.
Trus, lama-lama cerita sendiri, “ayah, tadi kan aku magribnya qobliyah dulu dua rokaat”.
Subhanallah! Padahal saya tak pernah nyuruh tuch. Subuh aja kalau emang pules bener, tak tega aku bangunin. Berangkat kantor kadang masih tidur. Buka pintu pelan banget biar gak ganggu tidur. Motor dituntun dulu. Agak jauhan, baru nyalain. Tapi, itu dulu. Alhamdulillah, akhir-akhir ini mulai ada perubahan.
Tak perlu disuruh secara langsung. Banyak tersinggunya malah. Cukup angkat tangan. Tengadah. Gratis, tak perlu biaya. Hanya modal yakin dan kemauan. Adukan sama Allah. Ini bener-bener nyata. Dimuka sudah aku bilang, ini “urusan dapurku pribadi”. Terserah saja, kalau mau dibilang buka aib atau apalah.
Dan lagi, siapa yang melembutkan hati seorang hamba dari “anti pati sama buku” menjadi “minta dibeliin buku dan dibaca. Udah gitu, kalau gak tahu, mau nanya pula”.
Adalagi sebenarnya. Tiga episode tentang indahnya sedekah minggu lalu belum sempat saya tulis. Masih berupa coretan-coretan kertas. Semoga aku bisa lekas punya laptop. Biar bisa nulis dirumah. Amin.
Sekilas (aku sudah menuju pintu, hanya saja tivi belum dimatiin) aku dengar, “bagaimana Allah mau ngasih berkah banyak-banyak kalau yang sedikit aja gak di syukurin?” kata Ustadz Yusuf Mansyur.
Jaminan dari Allah, setiap hamba meminta, “kalau Aku (Allah) tidak kasih hujan lebat, aku kasih hujan gerimis”. Ini disampaikan saat menceritakan bagaimana beliau mbayar hutang lewat sedekah. Mungkin, lain kali dapat juga aku nukil menjadi kisah tersendiri.
Salam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar