Kamis, 12 Februari 2009

Aku: kumpulan daging tak berguna, hina!

hidup itu indah
membahagiakan
tak terbeli oleh uang

sayang, banyak hal terbalik
harta dianggap kebahagiaan
jabatan, kekuasaan; tak ada beda sebenarnya
itu semua justeru membuat (jiwa) mati

tubuh elok nan indah
tapi mati
apa guna?
itulah hidup. tapi, mati.


Munajadku sore ini (ashar), kamis 12 february 2008.

Sampai masjid pas adzan. Jam 15:26. Aku berdiri. Menghormati. Jangan kau perdebatkan soal berdiri (diam) ini. Terkadang aku langsung sholat dua rokaat (tahiyatul masjid), baru, selesai adzan sholat lagi (dua rokaat qobla). Saat ini aku lebih memilih berdiri. Menyimak adzan. Menghayati kalimat demi kalimat dikumandangkan si budak (bilal) hitam legam empat belas abad lalu.

Tak cukup banyak jamaah hadir ketika qomat. Yang biasanya imam tak ada. Aku maju, “Luruskan shaf! Rapat!” kataku. Menebar pandangan, lihat wajah jamaah satu persatu. “Allohu Akbar!” takbiratul ikhram berikrar. Rokaat pertama, albagoroh 153 – 157: Allah beserta orang yang sabar. Cobaan sedikit takut, lapar, kurang harta, jiwa dan buah-buahan. Orang yang mendapat petunjuk dan keberkahan sempurna, berucap: innalillahi wa innailaihi rojiun. Rokaat kedua 256 – 257: tidak ada paksaan dalam agama. Telah jelas jalan yang benar dari pada sesat. Allah pelindung orang-orang beriman.

Setiap sujud dan rukuk, kuulang dalam hati (sekali) bacaan itu. Nikmat. Tenang. Fokus. Ada rasa lain menyusup dalam qolbu. Empat rokaat begitu (terasa) singkat.

“Assalamu ‘alaikum warah matullah…!” kusambung dengan bacaan pelan, kepala kembali ke depan, “wa barakaatuh”. Kemudian salam kedua sambil menoleh kiri. Pelan.

Aku istighfar. Beberapa kali aku tak hitung. Mungkin tujuh, mungkin sepuluh. Serasa Allah melihatku. Mengajak tersenyum. “Istighfar-lah, Aku maha menerima taubat” begitu bisik itu.

Tasbih, tahmid, takbir. Masing-masing 33 kali. Pelan. Meresap. Wajahku rilex dan menebar aura senyum (kalau ada bidadari melihatku, tentulah terpesona). Kurasakan itu. Badanku, imaginasiku, entah dimana. Serasa berada di dimensi lain. Aku tak tahu. Sudut mataku terhunjam persis menatap depan bawah.

Dan, aku berucap dalam hati. tanpa gerak isyarat bibir. Tanpa ekspresi wajah. Netral. Polos.

Sholawat dan salamku untuk kekasihMu, Muhammad manusia suci itu. Ampuni aku ya Rab. Jejak kakiku begitu berbekas onak, duri, lupa, khilaf, salah. Andai bukan Engkau, ya Allah, kemana hendak ku gadai dosa-dosa itu. Bumi bergoyang jika kubebankan dosa itu. Langit seketika menutup diri. Gunung gugur. Angin berhenti. Tak sanggup menopang berat dosaku. Hanya Engkau ya Allah, pengampunanMu jauh lebih agung. Aku beristighfar kepadaMu –astaghfirullahal adzim- kepadaMu ya Allah”.

Hatiku diam sejenak, pejam mata, tarik nafas. Jamaah mulai meninggalkan shaft, beranjak satu dua.

Ajari hamba dapat mencecap nikmatnya berdoa kepadaMu ya Allah. Engkau Maha Suci. Engkau Maha Bijaksana. Engkau Maha memberi Rahmat. Lembutkan hati hamba. Lembutkan hati istri hamba. Lembutkan hati anak-anak hamba. Lembutkan hati saudara-saudara hamba. Lembutkan hati orang-orang disekitar hamba. Engkaulah penggenggam hati, pembolak-balik hati setiap manusia. Tetapkan hati kami dalam ketaatan kepadaMu, ya Allah.”

Aku selingi dengan do’a dalam bahasa arab. Tinggal satu lagi orang duduk didepanku. Dan akhirnya,

Ajari aku untuk semakin dekat denganmu ya Allah. Perkenankan aku dekat denganMu. Berkenanlah Engkau aku dekati. Hanya dengan mengigatMu hati menjadi tenang, tenteram, damai. Tebarkan rahmatMu, tebarkan rejekiMu, anugerahkan kesehatan kepadaku. Untuk menyempurnakan ibadah kepadaMu.”

Aku hanya seonggok daging yang hina, jika tanpa belas kasihMu. Aku begitu lemah, tanpa kekuatan dariMu. Engkau yang maha perkasa. Aku begitu terpuruk dan terhina tanpa perlindunganMu. Aku begitu miskin dan papa, tanpa uluran pertolonganMu. Hanya Engkau yang maha kaya, raja diraja segala alam jagad raya. Alam semesta.”

Kembali, aku terdiam, tidak ada lagi jamaah di depanku. Semua telah beranjak. Pergi. Aku masih belum puas. Bernikmat-nikmat duduk, bermunajad. Semakin nikmat. Dan,

Engkau maha melihat kepapanku. Duhai dzat pemilik segala catatan. Tiada selembar daun gugur dari pokok, melayang ditiup angin, jatuh ketanah, tanpa sepengetahuanMu. CatatMu akan jalanku tidak tercecer dari masa laluku, masa kini, masa akan datang. Hapuslah catatan dosa-dosaku. Lurnturkan. Aku beristighfar, mohon ampun hanya padaMu, ya Allah. Terimalah ibadahku. Munajadku. Sungguh, Engkau maha mendengar jerit, lengking, tangis menyayat di hatiku.”

Diam lagi, tarik nafas (klo tarik kolor, bukan saatnya. Jelas itu), rasa tenang begitu menjalar di seluruh tubuh. Dan, kututup dengan…

Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannasir. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Amin.”

Aku berdiri. Keluar masjid. Tak lupa sandal pakai dulu tentu. Masuk ruangan (kerja) lagi. 16:50. Aku tulis memoir ini. Untuk kubaca lagi. Kamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar