Entah perasaan apa ini namanya, aku sudah terlalu kangen dengan dusun petir, kelurahan srimartani, kecamatan piyungan, kabupaten mbantul. Masih termasuk propinsi yogyakarta. Begitu kuat dan terngiang keinginan ini.
Terbayang, bagaimana aku mencoba mbabat alas ditanah kelahiranku tersebut. Babat alas? Ya, benar. Babat alas. Bagaimana tidak. Aku yang notabene dilahirkan disana, dibesarkan disana, sekolah, mengaji, nyari kayu bakar, bermain gobaq sodor, main pasar-pasaran, main bola, nyuri mangga, nyruri srenthul, bahkan berlaku usil dengan menggodai teman-teman cewek. Sampai cinta monyet, aku disana. Sempat juga menjadi penggerak rismasa, tahu kan rismasa, itu, remaja islam masjid dan mushola.
Bercerita sedikit tentang rismasa, ditempatku persis dusun petir, ada dua masjid. Kalau untuk ukuran Jakarta sih lebih tepat disebut musholla. Entah bagaimana cikal bakal orang tua jaman dulu sehingga kedua tempat itu disebut masjid. Tentulah hal ini mengandung posisi psikologis para tetua, maupun peta religi dengan latar belakang organisasi berbeda. Konon, katanya sih antara nahdlatul ulama versus muhammadiyah. Tapi, tak usahlah saya ingat-ingat masalah ini. Topic lain mungkin bolehlah. Tulisan ini hanya untuk mengorek unek-unek saja.
Serius, aku sangat kangen untuk hidup di jogja, dusun petir itu. Daerah piyungan, namanya. Hanya saja, mesti babad alas kalau mau begitu. semenjak jebol sekolah menengah atas aku langsung kabur ke Jakarta tepatnya daerah bekasi, tempat kakak perempuanku kedua. Numpang makan, pertama-taman. Setelah itu, biasalah, nyari pabrik untuk mencari sekeping rejeki sekedar beli sesuap nasi.
Dari awal bujangan, liar, ngontrak satu petak ramai-ramai, akhirnya tertarik dengan seorang gadis dan melamar hingga akhirnya hidup berdua dalam sebuah kontrakan kecil. Kini telah lebih 14 tahun aku meninggalkan kampung itu. Dusun petir, maksudnya. Bukan berarti los begitu saja, empat belas tahun tidak pernah pulang. Hanya saja setahun sekali minimal-lah pulang untuk sekedar berlebaran. Selama rentan itu lah doktrin-doktrin kehidupan telah meracuni aku. Sehingga selama itu pula (menjadi kuli pabrik) telah mengikat aku dengan rutinitas kehidupan.
Korban ganasnya metropolitan dan pergeseran peradaban. Ini yang aku rasakan. Selama ini aku merasa semakin lengket bergantung dengan sesame makhluk. Tersirat dalam ingatan ini setempelan sticker di meja belajar anak saya yang pertama, kelas lima sd. Apa yang ia tuliskan? Maksudnya, apa yang tertulis dalam sticker itu? “muslim, takut dan harapan hanya kepada allah” nah loh, aku ini seorang muslim. Walau mugnkin masih dikategorikan muslim ktp sekedar untuk administrasi kependudukan. Hanya saja aku benar-benar merasakan jiwa ini juga muslim, pikiran ini juga muslim, tapi, giliran ditanya seberapa jauh dan dalam iman serta keyakinan terhadap ketentuan allah. Aku hanya bisa diam dan geleng kepala dalam hati. Udah geleng kepala, dalam hati pula. Sungguh meragukan.
Satu contoh, tepatnya. Dalam hal rejeki, masih saja aku takut kalau tidak menjadi karyawan seperti ini, lantas, aku mau jadi apa? Profesionalitas, aku ndak merasa mampu. Dokter, tukang ngajar atau guru, pedagang, dan lain-lain. Intinya yang keluar jalur dari selama ini aku lakukan –buruh pabrik- rasanya terlalu takut. Justru rasa takut inilah yang meragukan ke-islaman-ku. Sticker aja bisa bilang –hanya pada allah- tapi, ternyata takutku tidak kebagian rejeki –gaji- lah lebih tepatnyanya malah kepada pabrik dimana aku bekerja.
Oke. Biar ada sedikit penerangan, aku ceritakanlah seberapa parah ketakutanku pada pabrik ini. Dulu, sekitar atahu 1997 lebih tepatnya tanggal 19 februari, aku mengalahkan 25 orang untuk aku singkirkan. Persaingan, ya benar. Persaingan untuk memperebutkan jabatan quality control “field” di departemen –ya quality- tentunya. Masak departemen gudang. Bagi yang belum pernah menginjak paberik sama sekali bolehlah saya ceritakan mengenai beberapa departemen dalam pabrik ini.
Departemen produksi, menangani processing yang akan menghasilkan output. Misalnya pbarik mie, berarti departemen ini menangani langsung pembuatan mie. Komponen didalamnya, berarti, operator – tukang megang mesin, helper – tukang ngisi mie yang jalan diconveyor ke dalam kardus, aja juga yang tukang meletakkan bumbu sachet diatas mie yang jalan diatas conveyor untuk kemudian process selanjutnya pengemasan secara otomatis.
Departemen gudang, ya menangani masalah penyimpanan. Fifo - first in fisrt out- atau dalam keadaan tertentu lifo – last in first out- intinya bagaimana melayani distribusi dalam hal pengiriman ke std – sales to distributor – atau stt - sales to trade. Distributor, berarti gudang antara pabrik – factory- ke pasar atau toko. Kalo trade itu maksudnya pasar. Pokoknya seperti itulah.
Departemen ppic, marketing, accounting, personalia, dsb.
Nah, keduapuluh lima pelamar ini adalah peminat yang mau masuk ke departemen qc –quality control. Yang ditangani adalah laboratorium alias tukang analisa, atau polisinya bahan baku, juga process produksi. Waktu melamar departemen ini, aku ndak tahu apakah hendak diletakkan di analyst atau field nya bahan baku. Yang belakangan akhirnya aku tahu kalau lowongan ini adalah quality field raw material. Singkatnya –qc field rm. Specialisasinya menangani (ngececk) berdasarkan sampling bahan-bahan baku yang hendak masuk.
Karton, etiket, bumbu, minyak bumbu, minyak goreng, terigu, plagban, itu gambaran umum bahan baku membuat mie. Kalau untuk popmie, berarti shrink label, lead seal, garpu lipat, shrink film. Ada lagi tetek bengek lainnya, tapi, hanya sekedar material tambahan. Seperti btm-bahan makanan tambahan- atau disebut juga ingredient. Bahan-bahan seperti inilah yang harus aku check sebelum pembongkaran dilakukan. Urusannya ya, naik turun truk pengangkut, beradepan sama kenek, sopir, kuli bongkar muat, untuk pekerjaan ini. Tapi, karena menyingkirkan duapuluh lima peminat, bangga-lah aku menangani pekerjaan ini.
Akhirnya, tahun demi tahun, mutasi-demi mutasi, ganti atasan, ganti suasana kerja, ganti spesialisasi, terjadi. Hingga posisi terakhir, setelah 3 atau 4 kali pergantian, semenjak tahun 2004, aku pindah ke kantor pusat. Menangani reporting juga analisa data laporan seluruh cabang. Lumayan banyak, ada 16 cabang noodle yang harus aku handle. Praktis, dari yang gaptek menjadi familiar banget dengan yang namanya komputer.
Sementara teman seangkatanku, masih begitu-begitu saja di departemen quality. Aku sudah mentereng (kata mereka) di kantor pusat. Enjoykah? Nikmatkah? Justru inilah pertanyaan batinku yang gundah selalu.
Aku hampir tak tahu lagi sebenarnya apa yang aku cari. Kalau pertanyaan diatas aku jawab dengan “ya” otomatis tak mungkin ada lagi perasaan risau seperti ini. Seperti dikatakan dalam sebuat sajak berjudul “pintu”
Ke pintu
Setelah pertengkaran itu
Seharusnya engkau mengerti
Tapi, malah menjauh
Entahlah, lupa, pokoknya intinya seperti itu. Tafsir dari sajak itu kira-kira “setelah pertengkaran dalam dadaku yang memporak-porandakan ketenteraman jiwa, seharusnya kau tuh sadar dan segera tahu pintu mana yang harus kutuju. Namun, malah semakin jauh. Tak kunjung ketemu pintu itu. Boro-boro pintu, handle pintunya saja tak kelihatan. Copot. Entah siapa yang lebih dulu mencopotnya.
Risau, galau, tak tenang, walau sudah duduk disebuah departemen mapan, pusat lagi. Tapi, perasaanku hanyalah aku yang tahu. Oh, ternyata “rindu kampung” alias pengin hidup dikampung inilah yang membuatnya.
Praktis, saat ini, lilitan hutang koperasi, merasa aman karena kesehatan sudah ada yang nanggung, gaji –bagi saya sih gedhe, relative- tiap bulan dapet, tungjangan transport. Tunjangan makan, pokoknya nyaman lah. Ibarat hidup itu sudah disediakan dan dijamin, hanya tinggal menjalani saja.
Namun, ternyata dalam perasaan yang seharusnya enjoy seperti ini, secara, coba saja bandignkan dengan para gelandangan dan pengangguran yagn masih sibuk nenteng map lusuh kesana kemari, sarjana yang masih kelimpungan belum mampu tapi malu numpang terus sama orang tua, toh katanya sarjana. Aku sebenarnya orang yang sudah semapan-mapannya. Garasi hidup didunia sudah ada. Hanya saja, aku merasakan umurku sudah dikontrak –dibeli dengan kertas segel- oleh pabrik ini. Yah, benar. Umurku telah diborgol oleh pabrik dimana aku bekerja. Kalau mau bebas menggunakan umurku, tunggu sampai pension. Umur 55 tahun. Itupun dengan segala macem perjanjian yang tidak sedikit pasal-pasalnya.
Keinginanku, sebenarnya sederhana. Saat ini, bisa berkiprah untuk berdakwah di kampung kelahiran-dusun petir. Penghasilan seadanyan, mandiri, tidak bergantung kepada orang lain, tidak dikontrak umurnya, tidak dikekang oleh sesame manusia hanya sekedar untuk mendapatkan jaminan “gaji secuil setiap bulan” makan. Apakah, aku ini seorang yang termasuk pemberontak, atau tidak bisa mensyukuri?
Aku kira tidak seperti itu ya, aku hanya sekedar pengin berkiprah, memajukan daerah sendiri setelah sekian lama mencari pengalaman hidup di tanah rantau. Bagaimanapun juga aku menganggap, kebahagiaanku hanya akan terukur dari seberapa banyak aku bisa berbagi. Mengabdi. Ke siapa? Tentu saja kepada tuhan yang telah menciptakan aku. Dalam hal ini, seperti mengenan tahun-tahun semasa usia sekolah. Setiap sore mengajari ngaji anak-anak, ada kemah dakwah, ada pengajian antar kecamatan, ada pembibitan penceramah, kegiatan agustusan, dan sebagainya. Intinya, kegiatan sosial yang bukan didasarkan pada komersial.
Ini, yang aku tidak miliki disini. Meskipun secara ekonomi dan pekerjaan boleh dikatakan mapan. Dikatakan loh ya, kalau mapan itukan relative. Aku tidak punya kegiatan itu. Pembebasan secara moral sosial, ini aku tidak ada. Yang ada justeru semakin tertekan secara psikir, jiwa semakin terbelenggu, kebebasan berekspresi –wuih, kayak anak muda saja berekspresi- tidak punya lagi. Praktis, hidup ini hanya seperti robot yang sudah disetir. Paling tidak semacam kerbau yang sudah ditancapi microprocessor diotakknya dan dikendalikan jarak jauh oleh komponen manusia yang lebih canggih. Mau tidak mau, si kerbau ini harus pecahkan kepalanya dulu untuk ambil microprocessor ini.
Aku, manusia. Harus pula memecahkan kepalaku untuk membebaskan diri dari belenggu ini. Terbebas dari rasa sangat bergantung kepada pabrik –mentang-mentang sudah membayarku- secara total. Bagaimana tidak, sesaat saja, tiga hari misalnya, aku pengin bercengkerama full dengan anak dan keluarga. Pasti harus nungguin setahun sekali. Nunggu libur lebaran. Padahal, seharusnya prioritas utamaku adalah keluarga, anak-anak, kesejahteraan isteri. Tapi, apa?
Huh, terbayang makin kuat dalam imaginasi ini. Nekat-nekatanlah, beli sepuluh kambing dengan cukup dua pejantan sedangkan delapan lagi betina sebagai peranakan. Misalkan satu kambing seharga limaratus ribu, berarti Cuma lima juta. Rasanya berat mau nyisain uang lima juta ini. Sudah terlanjur menjadi manusia konsumtif. Bahkan total tanggungan kartu kredit saja lebih dari limabelas juta. Ini, Cuma sepertiganya. Koq berat.
Ada banyak anak-anak kampung yang bisa aku suruh untuk ngangon kambing dengan system bagi hasil. Dalam artian, bila delapan betina itu beranak, separuh anak itu menjadi milik yang tukang nyari rumput. Hanya tinggal nyediain tempat saja. Sama modal awal tentunya. Urusan kesana sudah tidak perlu lagi mikirin. Taruhlah setiap enam bulan beranak empat, berarti kurun waktu satu tahun sudah punya enambelas kambing.
Kalau aku mulai saat ini, berarti tahun depan, sudah punya minimal duapuluh enam kambing. Itu minimal, pasti lebih soalnya. Tuhan maha tahu, maha kaya, pastilah tak bakalan tinggal diam dalam urusan seperti ini. Intinya, mau usaha, yakin, pasrah, dan berdo’a. tuhan tidak akan tinggal diam. Hanya saja. Sekali lagi, diawal tulisan ini telah aku katakana bahwa, keyakinan alias rasa iman terhadap tuhan lebih banyak dikesampingkan. Soal rejeki saja masih takut, terikat oleh si-paberik tempat bekerja. “nanti, kalau tidak kerja mau makan apa, dapet duit darimana, anak-anak sekolah mau bayar pakai apa” resahku. Ini tidak beralasan sebenarnya, tapi… ahhh…….. sudah sore, besok lagi curhatnya. Keburu nguber kereta untuk pulang.
hmmm..ya memang kita harus percaya ALLAH, tp ya tetep kudu berusaha kan mas... tapi memang keyakinan itulah yg paling penting unt modal hidup. unt balik ke dusun petir juga ok.. tapi kudu ada pertimbangan kemajuan pendidikan anak2 kan...
BalasHapushmmm.. apapun bersyukur mas.. apalg ngga semua karyawan bisa mentereng di kantor pusat kan..
wah, pertamax nih. he..he..he... than'x me atas supportnya. memang, ada saatnya seseorang tiba pada umur untuk galau dan resah. tapi, setelah aku baca banyak buku, memang seperti itulah salah satu fase metamorfosis jiwa. hanya sekelumit langkah dari jalan panjang untuk menuju titian sukma.
BalasHapusaku hanya berharap, semoga tidak terjebak untuk kedua kali. do'ain ya, teman.