hati yang kian mati
"Kang, katanya jalan di desa kita mau diperlebar ya ?" Paimo membuka pembicaraan disela sruputan kopi panas ketika sedang duduk di halaman samping rumah. ia dan seorang tetangga seberang jalan kebetulan sedang duduk santai di sore hari, sebenarnya ia hendak berangkat ke sungai untuk memandikan sapi yang ada dikandang.
Secara rutin ia memandikan sapinya seminggu sekali paling lama, terkadang kalau badan sapi sudah belepotan "telethong" - tahi sapi - seminggu bisa 2 kali ia memandikan sapinya. Ketika sedang berjalan menuju kandang, Paidin menghampiri sambil nenteng "bendo" - golok yang ujungnya melengkung - sehabis memangkas pohon randu kapuk di pinggir jalan pojokan rumahnya.
Pak Karso utomo – kepala desa - mengistruksikan beberapa waktu yang lalu bahwa jalan utama desa tempat tinggal mereka hendak diperlebar sekaligus memperbaiki parit di kiri kanan jalan agar supaya aliran air menjadi lebih lancar. Jalan utama desa sebetulnya sudah cukup dengan lebar 3 meter, tetapi karena paritnya cukup sempit sehingga kalau hujan besar yang diperkirakan datang beberapa bulan lagi dikhawatirkan membludak mengalir ke jalan.
Rencana akan ditambah masing²satu meter di kiri kanan jalan sehingga lebar jalan menjadi 5 meter dengan dipotong parit setengah meter, praktis lebar jalan hanya 4 meter karena termakan untuk parit 1 meter. Hampir sebagian besar warga terutama di sekitar jalan desa menyambut gembira instruksi Pak Karso Utomo, dengan segala kesadaran dan kerelaan bahkan tidak sabar menunggu "gugur gunung" - kerja bhakti massal - kapan rencana pelebaran jalan dilakukan.
"Instruksinya sich begitu, namun rencana mateng baru nanti sore para warga berkumpul di balai desa untuk membicarakan kapan dan bagaimana pelaksanaannya" sahut Paidin yang di panggil "kang" oleh Paimo.
"kira² kita kena berapa meter ya kang ?
"terus dapet penggantian berapa per meternya ?" Paimo menyeruput kopinya sambil melanjutkan pembicaraan. sedangkan yang ditanya hanya merespon secara datar sambil menyalakan rokok kretek dengan tak lupa menyeruput kopi yang telah dihidangkan Paimo.
"Kalau aku sich terserah saja mau diganti berapa oleh pemerintah, ini juga untuk kebaikan kita bersama koq. Bahkan kalau memang tidak diganti juga tidak apa², aku malah senang klo tanahku dijadikan jalan yang nantinya dilalui orang banyak apalagi ini cuma diambil satu meter, halamanku sepanjang jalur jalan desa ini sekitar 25 meter berarti hanya 25 meter persegi yang diambil untuk pelebaran jalan." kata - kata Paidin meluncur dengan lancar dan tanpa beban menandakan sifat dan jiwa tulus dihatinya.
Itulah sekedar pembicaraan ringkas seputar proyek pelebaran jalan dan perbaikan parit sarana saluran irigasi di sebuah desa yang kata orang "penduduknya ndeso" namunternyata hati mereka justru hidup dan "legowo" terhadap kepentingan bersama. Mereka justru bangga bila tanah mereka dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum -jalan desa misalnya- apalagi
kelak mereka² juga yang ikut memanfaatkan serta menggunakannya.
Hanya memakan waktu satu minggu, para warga "gugur gunung" kerjabhakti massal mengerjakan pelebaran jalan, tidak ada yang digaji, tidak ada yang dipungut biaya, bahwa hampir 75 % warga yang tanahnya terkena pelebaran jalan menolak menerima uang pengganti dari pemerintah setempat dan merelakannya untuk merenovasi masjid utama di pedesaan itu.
Bukan untuk "sok suci", bukan pula untuk "sok dermawan", tapi tidak lebih dari "rasa bangga karena dapat memberikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan bersama". Selaku kepala desa Pak Karso Utomo pun bukanlah orang sembarangan tahajudnya tidak pernah lewat satu malam pun kecuali uzur tertentu, puasa sunnah senin kemis nyaris tak pernah ia tinggalkan imam sholat jum'at secara bergantian dengan para generasi muda senantiasa dilakukannya.
Hal inilah yang membuat sosok Karso Utomo menjadi pemuka masyarakat yang benar² menggugah kesadaran para warganya. ia adalah sesosok pemimpin yang - meski cuma kepala desa - bersahaja dan sadar betul akan kiprahnya sbg panutan khalayak.
Tidak heran bila segala instruksi dan ucapannya senantiasa diikuti oleh warga termasuk saat meminta "sedikit" tanah sebagian warga untuk pelebaran jalan dan perbaikan parit.
Paimo dan Paidin hanyalah beberapa gelintir dari manusia yang merasa diri bagian dari manusia, sehingga apa yang mereka berikan untuk kepentingan bersama - mereka beranggapan - sejatinya hanyalah untuk mereka sendiri, tiada pantas menerima imbalan dari sesama manusia yang bersifat materi duniawi dan hanya mengharap Ridho Ilahi. Dengan perilaku sebagian besar warga desa yang meniru mereka berdua proyek pelebaran jalan dan peremajaan parit pun selesai dilakukan hanya dalam waktu 1 minggu padahal total panjang jalan yang di lebarkan adalah 1,5 km.
mereka malu kalau sampai tidak keluar rumah untuk kerjabhakti mereka malu kalau tidak bisa memberikan -minimal- tenaga untuk proyek pelebaran jalan ini bahkan para ibu - ibu pun malu kalau sampai tidak memberikan "nyamikan" - makanan kecil untuk mereka yang kerja bhakti
Gugur gunung adalah sebuah tradisi yang "nyaris mati" seiring matinya hati para manusia yang katanya "modern"
Hanya berselang satu setengah bulan setelah peremajaan parit, hujan deras mengguyur desa tersebut, namun mereka tak khawatir bahkan semakin bangga pada kepala desa mereka -Karso Utomo- dengan kebijakannya. Dari jam 5 ba'dal subuh hujan deras seperti diguyur dari langit tiada henti seolah menandakan langit yang sedang murka diiringi geledek menyambar namun hanya beberapa saat. Hanya setengah jam hujan pun berhenti namun masih hujan gerimis, seolah memberikan kesempatan kepada "sang parit" untuk uji coba karena sekitar jam 9 pagi hujan deras kembali mengguyur bahkan 3 jam tiada henti dengan 2 kali lipat lebih lebat dari hujan sebelumnya.
Parit pun teruji, dengan kedalaman 75 cm dan lebar setengah meter, terbukti -perhitungan yang tidak asal²an- dari para pemuka masyarakat, air laksana bah mengalir dengan begitu lancar menuju sungai di pinggiran desa.
Laen Paimo Paidin, lain pula dengan masyarakan jakarta masa kini. Begitu hujan setengah jam saja, air menggenang di sana sini, bahkan yang katanya "jalan utama" justru lebih parah terendam air. Praktis kemacetan pun tiada terelakkan lagi.
Warga jakarta nyalahin pemerintah setempat, sementara "sang pemimpin" seolah termakan omongan sendiri atas janji mereka selama kampanye. Banjir kanal barat dan timur tidak kunjung berfungsi, padahal "kataya ditangai para insinyur ahli".
Bagaimanapun juga "ketulusan membawa keberkahan", dan Tuhan maha tahu akan hal ini.
Apa ada warga jakarta yang -dengan rela- menyerahkan secuil tanahnya untuk parit ? Jangankan parit bahkan luas tanah 80 meter dibangun habis dengan luas bangunan 80 meter juga ditingkat lagi. Jalan air di depan rumah bahkan kalau perlu "di blok" ditutup dengan cor²an agar dapat dihadikan "halaman kecil" bagi penghuninya atau bahkan hanya sebagai ruang parkir kendaraan.
Saat tanah mereka terkena "proyek" entah itu peremajaan parit atau jalan sekalipun justru dimanfaatkan untuk meminta "ganti rugi" dengan harga setinggi²nya, apabila tidak mendapatkan, pengacarapun mereka sewa untuk meng-golkan keinginan.
"ini tanah warisan engkong gue, sejengkal saja eloe atik² nyawa taruhannye" mungkin begitu kata mereka.
Paimo Paidin bahkan malu kalau "tritisan" sampai jatuh ke tanah tetangga, itulah sebabnya mereka senantiasa menyisakan tanah disekeliling rumah setengah meter untuk -sekedar jatuhnya air hujan- agar masih tetap ditanah sendiri.
Warga jakarta ndak mau banjir lagi ?
Tuluslah dengan alam mulai dari diri
Jangan salahkan pemerintah, tapi salahkan diri
atau...
belajar saja dari Paimo Paidin he..he..he...he....
halo Sal! Wah, cerpen kali ini kok terasa lambaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat sekali berceritanya.. entah karena ini sudah hampir jam 4 pagi atau memang deskripsinya itu kebanyakan..
BalasHapushm.. jangan lupa EYD ya.. :D
th's atas komentarnya. cerpen itu dibuat jauh sebelum salwangga lahir. hanya sekedar coretan tak bermakna berdasar kejadian nyata setahun lalu.
BalasHapuspetuah guru cassle, pasti sal perhatikan.