Langit agak mendung ketika wiwik menyirami aglonema jemani kobra setinggi sejengkal dalam pot plastic warna hitam. Sore itu angin semilir menambah suasana hening menjelang magrib.
“ciittt…. Braaakkk… rhheeeemmmmmm…”, suara ban direm mendadak berdecit beradu dengan aspal disusul benturan benda berat, mengiringi deruman mobil melaju kencang.
“Tolongin… tolongin…..”
“Aduh… kasihan amat tuch bocah.”
“Hoii.. dasar mobil gila, klakson sembarangan !”
Terdengar suara – suara gaduh memecah kesunyian. Serentak wiwik menghentikan aktifitasnya, memutar kran pada posisi off, berhambur keluar pagar.
“Ya ampun, bawa kepinggir Pak, tolong motornya”
“Ayo, gotong – gotong – gotong !”seru yang lain.
Seketika itu juga kotak P3K ambil peranan, entah kali keberapa kecelakaan ini terjadi, seperti sudah menjadi rutinitas, jalan menikung itu menjadi ajang tabrakan kendaraan. Kelalaian pengendara tergesa – gesa ataupun mobil ugal – ugalan menikung tanpa mengurangi kecepatan sambil membunyikan klakson adalah salah satu dari sekian penyebabnya.
“Aduuhhh….. sakit..!”
Syukur dech merintih, berarti kesadaran gadis ini tetap terjaga. Luka dilutut telah selesai diperban, begitu pula siku kiri telah dikasih obat luka, tidak perlu dibalut karena hanya luka kecil, tapi kenapa banyak darah di baju, dari mana ini.
“Tolong dimiringkan Pak, saya curiga ada luka dikepalanya”
Benar, ada benjolan mulai membesar dikepala bagian belakang, luka cukup lebar, darah merembes menyusuri rambut, pantas tidak kelihatan.
“Ya ampun mbak, helmnya sampai pecah begini, lukanya besar tuch, darahnya mengalir terus”, Bapak berkopyah yang tadi tersenggol angkat bicara.
Handuk kecil dan gunting segera ambil peranan, luka coba dibalut, namun agak kesulitan karena robeknya cukup dalam. Darah belum juga berhenti, hanya sedikit terhambat oleh obat luka dan balutan perban.
--------------------0&0----------------------
“Ma’af bu, lukanya cukup serius, pertolongan pertama ibu lakukan sudah cukup untuk sementara ini, pasien perlu segera cityscan untuk lebih pasti mengetahui keadaannya.” Dokter jaga di rumah sakit berjarak 500 meter dari lokasi kejadian menjelaskan. Dibantu beberapa security, wiwik kembali mengangkat tubuh gadis itu kerumah sakit yang lebih besar.
Mobil kembali melaju, hari semakin senja. Semburat kuning diufuk barat makin kemerahan.
“Kondisi pasien cukup lemah, harus segera ditangani secara serius, untuk hal ini perlu cityscan, di sini belum tersedia alatnya, silahkan ibu bawa ke Rumah Sakit Sanno Medical guna mendapat perawatan secara intensif”, kembali dokter jaga dirumah sakit ini pun angkat tangan dengan alasan peralatan. Rumah Sakit sebesar ini alat scan saja belum ada, aneh.
Kembali mobil meneruskan perjalanan, tepat saat adzan magrib berkumandang, wiwik sampai ke pintu gerbang rumah sakit yang dituju. Besar, terkesan mewah, banyak mobil parkir di halaman samping menunjukkan kelas para pasien yang berobat maupun rawat inap disini. Dibantu seorang perawat wiwik segera menuju UGD, sejurus kemudian Tika telah berpindah ke tempat tidur dorong.
“Permisi dok, apakah pasien perlu segera city scan ?”
“Ya, lukanya cukup serius, anda keluarganya ?”
“Eh, bukan dok, saya membawanya kerumah sakit ini, pihak keluarga sedang menuju kemari sebentar lagi sampai.” Selama di mobil, wiwik sempat check beberapa nomor telpon terakhir yang dihubungi Tika lewat HP, dari sinilah diketahui sebuah nomor dengan inisial “home”. Pembicaraan singkat denganorang tuanya telah menguatkan hati untuk melakukan apa yang dipandang perlu serta tidak melanggar privacy korban – harus seizin family, bahkan kedua orang tua mengamanatkan untuk melakukan yang terbaik untuk anaknya. Kartu pelajar di saku samping tas sekolah menginformasikan “Mulan Swastika Rini” siswi SMUN Karestin, wiwik tahu keberadaan sekolah ini.
“Bagaimana bu, apakah mau langsung di scan ?”
Aneh, kenapa harus bertanya seperti itu, bukankah baru saja dokter menyarankannya ?
“Aduuuh…. Sakit…” Tika merintih pelan tergolek di tempatnya, kondisi makin lemah.
“Iya, segera lakukan yang terbaik dok.”
“Kalau begitu silahkan ibu kebagian radiologi tepat dilorong ujung sebelah kanan pintu masuk.”
Wiwik bergegas begitu terburu , sambil melirik kearah korban dengan perasaan cemas dan khawatir terjadi hal lebih serius, rasa penasaran belum juga hilang dari benaknya menyaksikan Tika belum juga diapa-apain.
“Ibu silahkan menemui dokter jaga untuk membuat konfirmasi bahwa pasien memang harus di city scan.”
“Tapi saya baru saja dari sana bu, dan dokter Haji Risam sendiri menyuruh saya segera kesini.”
Sekilas sempat terlihat papan nama kecil disematkan didada kiri dr H. Risam, sepantasnya wiwik menganggap initial H disini adalah gelar Haji walau sebenarnya bukan, melainkan hanyalah sebuah nama depan. Hendargus. Lengkapnya dokter Hendargus Risam.
“Saya hanya bertugas di sini bu, saya tidak berani menjalankan alat ini tanpa rekomendasi pak dokter !”
Bagaimana sich, jelas – jelas dokter tadi menyuruh saya kesini ke bagian radiology. Perasaan tak karuan dan bingung serta heran campur tak mengerti silih berganti keluar masuk di kepala.
“Dari pada saya bolak – balik kesana lagi, apakah tidak sebaiknya suster konfirmasi melalui pesawat aipon, karena biar lebih cepat, kasihan pasien sudah dari tadi menunggu, kondisinya juga makin lemah, saya khawatir darah di lukanya ada yang membeku bisa menimbulkan masalah kalau tidak segera dibersihkan.”
Apalagi ini, bukannya argumenku lebih masuk akal, kenapa suster ini malah memasang muka cemberut seolah tidak suka dengan ucapanku, apanya yang salah ?
“Ma’af bu, pasien belum dapat dibawa kemari, silahkan ibu menemui dokter kembali untuk konfirmasi”
Wiwik merasakan lututnya mulai bergetar, bukan karena capek, tetapi karena berbagai keanehan pelayanan yang serba lelet dan terkesan di pingpong kesana kemari.
“Apakah pasien perlu segera di city scan atau tidak dok ?” nada wiwik mulai meninggi.
“Sebaiknya memang dari tadi bu”
“Lalu, kenapa tidak segera dibawa ke radiologi ?”
“Silahkan ibu mengisi formulir dulu untuk segera kami ambil tindakan”
Apa-apan ini, hanya untuk city scan saja 750 ribu, harus dibayar dimuka.
“Ya ampun, kenapa tidak bilang dari tadi dok”
Seperti ini ternyata pelayanan disini, informasi administrasi saja harus berbelit – belit, harus bolak – balik dulu UGD – dokter jaga – ruang radiology.
“Apakah tidak bisa kalau di city scan dulu, bayarnya belakangan dok ?”
“prosedur disini memang seperti itu, saya hanya menjalankan tugas”
Mana sempat aku memikirkan hal – hal seperti ini, jam setengah tujuh, telah lewat magrib, mana belum sholat lagi. Bisa berfikir jernih dan tidak panik, tenang membawa mobil sendirian dengan segera membawa kerumah sakit saja sudah untung, boro-boro menyiapkan uang cukup, isi dompet paling Cuma 200 ribuan, itupun sisa beli pupuk kembang tadi pagi.
“Eh,… ma’af dok, apakah benar – benar tidak bisa kalau dibayar belakangan dok, pihak keluarga sedang dalam perjalanan menuju kemari”
“kalau untuk urusan itu, silahkan ibu kebagian kasir”
“Aduuhhh… sakittt….. hooeekkk…. hooekk..”
Tika kembali merintih, suaranya lemah sekali, kali ini seperti spontan didorong dari dalam, semua makanan muntah dengan hebatnya, tubuh terguncang, wajahnya pucat, bibir gemetar.
Prosedur apalagi ini, kenapa pasien kecelakaan jelas seperti ini, masih didiamkan begitu saja, bukannya langsung ditangani dengan tindakan pertama, apa yang aku lakukan tadi sekedar pertolongan pertama, serta terbatas, dengan dibawa kerumah sakit aku berharap segera mendapat perawatan secara intensif tenaga ahli, kenapa malah terbengkalai seperti ini. Wiwik menebar pandangan dengan perasaan makin tak karuan, terlihat dari gerakan – gerakan serba salah, bersedekap, menarik nafas panjang, merapikan rambut, menoleh kearah Tika. Ya ampun masih belum disentuh juga, gila. Lebih terkejut lagi saat pandangannya menyapu tempat duduk persis dibelakang dokter jaga. Dua orang dokter itu ngapain saja, bukannya membantu malah asyik sendiri mainin HP, itu lagi, perawat satunya malah ikutan ngobrol, acuh banget dengan semua ini.
“Tapi, kenapa pasien tidak segera mendapat perawatan dok, dari tadi semenjak saya datang, ke ruangan radiology, balik lagi kesini, masih belum juga disentuh. Sejak dalam mobil ia telah muntah dua kali dan sekarang terjadi lagi dengan lebih hebat, pertolongan pertama yang saya lakukan hanyalah untuk pengobatan luar. Saya tidak menyangka ternyata dibelakang kepalanya robek cukup dalam, bagaimana kalau ada darah beku masih tertinggal disana, apakah tidak akan membahayakan otaknya ? Kalau terjadi sesuatu dengan kepalanya bagaimana ?” Wiwik bicara tanpa henti, nada meninggi. Bagaimanapun juga ia telah kehilangan akal sehatnya dengan kejadian yang dialami sedari tadi. Kembali ia melirik, Tika terkulai lemas semakin tak berdaya, seorang suster mendekati hanya sebatas membersihkan muntahan tercecer dilantai, sementar dua orang dokter tadi hanya melihat sekilas dan melanjutkan kembali aktivitas mereka – ngobrol sambil sesekali memencet tombol – tombol HP. Secara naluri kemanusiaan, hatinya berkata kalaupun urusan administrasi bukannya sudah ada saya yang bertanggung jawab dan menunggui disini sampai pihak keluarga datang. Lagi pula melihat orang seperti ini siapapun seharusnya segera bertindak, bukan malah dijadikan tontonan begini. Potongan daging di pasar swalayan masih lebih berarti bahkan diberi label harga per satu gramnya, ditempatnya dengan begitu bersih dibungkus plastic tipis sehingga menarik untuk dibeli, ini, manusia hampir sekarat, teronggok tak berdaya diatas tempat tidur dorong disebuah Rumah Sakit besar jangankan dipegang, bahkan dilirikpun tidak oleh para dokter disekitarnya. Makin berkecamuk di dalam dadanya suara – suara berontak dan protes terhadap tenaga medis di Rumah Sakit.
Dokter Sam bangkit dari tempat duduk, menatap tajam pada sosok perempuan diseberang meja.
“Apa yang ibu lakukan sudah benar dengan membawa segera korban kecelakaan ke sini, satu hal yang ibu harus ketahui luka – luka itu harus dibersihkan terlebih dulu baru bisa dilakukan cityscan. Segala sesuatu disini juga telah ada prosedur yang sudah baku, Ibu harusnya tahu akan hal ini !”
“Kalau begitu kenapa tidak langsung segera dibersihkan, kondisi pasien semakin lemah, bahkan isi perutnya mungkin sudah habis terkuras, bagaimana kalau sampai terjadi dehidrasi, bagaimana juga kalau sampai mati ditempat ini, ditempat yang seharusnya mengobati orang sakit ?”
“Mati ada ditangan Tuhan, bukan urusan saya !”
Petir menggelegar memekakkan telinga, tidak ada hujan tidak ada angin, gemuruh didada wiwiklah yang membuat kilatan besar menyambar jantung seakan meledakkan paru – paru berubah menjadi kilatan guntur. Tersurut hampir terlompat kebelakang beberapa langkah sampai tubuhnya terpojok diantara tumpukan filing cabinet tempat beberapa arsip berjajar. Benar – benar tersudut, tangan gemetar mencoba mencari pegangan. Untunglah ada patung anatomi tubuh manusia disebelah kirinya, sehingga lutut lemas seketika masih bisa ditopang dengan memeluk patung telanjang dengan gambar perut dan jantung terlihat jelas. Matanya berubah nanar, kata-kata yang tadi tegas begitu lancar keluar dari mulutnya kini tercekat bagai terkunci di tenggorokan. Tanpa ia sadar, air mata menitik setetes, tak sempat meleleh dipipi, serta merta diusap dengan menggunakan punggung tangan kiri. BUKAN URUSAN SAYA. Inilah geledek terpanas menampar telinga, dalam sekejap menggugurkan anggapannya tentang seorang dokter, seorang tenaga medis, seorang penyelamat. Dari kecil hingga Lulus kuliah di IPB setahun lalu, dokter, sebuah kata begitu agung tertanam kuat di jiwanya, kini di Rumah Sakit ini, Pusat Kesehatan serba canggih, dengan peralatan mutakhir, para dokter specialis, perawat professional, ternyata telah mengingkari sumpah mereka sebagai pengabdi kesehatan.
“Bu … kan … U …. Rus ….. san …. Dok … ter…. !
Suara keluar dari mulutnya begitu terbata, bukan lagi lantunan kata – kata cerdas seorang mahasiswa pertanian dengan pola pikir terarah seperti selama ini. Bahkan sepintas lalu suara ini layaknya jeritan anak kecil ketika dilarang makan permen karet oleh ibunya.
Dua orang dokter sedari tadi hanya ngobrol dan main HP mulai memperhatikan, mendadak bangkit dari tempat duduk, begitu pula dengan seorang suster yang mengelap muntahan Tika. Bertiga segera mendekat, memeriksa lutut, tangan, siku dan salah seorang dokter dengan perawakan kecil berwajah bersih tanpa kumis intensif memeriksa kepala. Tersadar mereka oleh teriakan patah – patah wiwik, seperti tersadar akan dedikasi dan sumpah mereka pada saat pertama menjadi dokter, panggilan jiwa. Namun semua itu seperti terlambat dan tidak mengubah paradigma yang baru saja ditorehkan oleh seorang dokter Sam kedalam sanubari terdalam. Inilah bentuk penghianatan nyata panggilan hati seorang dokter.
“Bukan urusan saya” begitu terngiang, tak juga mau hilang, mendengung bagai ribuah lebah memenuhi gendang telinga menyusuri saraf mengalir menyatu dengan aliran darah menumpuk, membeku bersemayam lekat di dasar jantung. Di sini, di ruangn UGD sebuah rumah sakit terkemuda, dedikasi penyelamat manusia – dokter, telah terkoyak oleh sebuah drama tragedi kemanusiaan. Bentakan seorang terpelajar dengan predikat dokter – dokter Risam namanya, melemaskan persendian, meruntuhkan keyakinan bagamana agungnya profesi panggilan jiwa ini. Patung anatomi tubuh manusia di sudut ruangan jantungnya begitu terbuka, paru – paru, hati, usus besar, usus dua belas jari, limpha, semua terlihat jelas menggambarkan organ dalam bagian tubuh manusia, persis didepan filing cabinet tempat arsip seluruh pasien rumah sakit tersimpan, dimana sejarah pengobatan dan penyelamatan dicatat, menjadi saksi diantara mereka berlima ditambah seorang security yang – mungkin – sengaja dihadirkan untuk menjaganya agar tidak kabur meninggalkan tanggung jawab administrasi, kabur dari kewajiban pembayaran. Seorang berhati tulus berniat menyelamatkan seorang gadis kecelakaan lalulintas, bukan dokter – bukan. Ia hanya sekedar mahasiswa – bekas mahasiswa lebih tepatnya – yang mengabdikan ilmunya untuk merawat dan menyalurkan hoby tanaman hias. Namun sorang calon tukang kebun penyayang tanaman ini memiliki rasa kemanusiaan jauh lebih besar dan lebih tulus ketimbang dokter, apalagi dokter Hendargus Risam. Jiwa perempuan penyayang, berhati lembut telah dibuktikan dengan lembar demi lembar daun tanaman hias yang dirawatnya. Ya. Ia memperlakukan manusia terluka selayaknya membelai daun – daun di pekarangan kost tempat tinggalnya.
Dalam sujut terakhir, ia tumpahkan air mata, ia kuak seluruh penat didadanya, ia mengadu pada Sang Pencipta atas apa yang baru saja dialami. Carut marut perasaan mulai menipis hingga akhirnya memudar, dengan basuhan air wudlu dan ciuman hangat pada sajadah di mushola Rumah Sakit, lega perasaan mulai terkembang kembali seiring ucapan salam penutup sholat magrib yang ia lakukan. Jam tujuh kurang lima, lima belas menit lagi waktu isya’ datang. Mungkin aku minum dulu di kantin sekedar melancarkan air ludah yang mendadak tersangkut ditenggorokan. Orang tuanya telah datang, bahkan namanya mereka pun aku belum sempat tanya. Rasanya ingin mengetahui keadaan Tika lebih lanjut, informasi singkat kejadian yang menimpa anaknya belum sepenuhnya aku ceritakan secara tuntas kepada kedua orang tua itu, bukannya aku tidak mau, bukan, ini semua murni karena ulah dokter itu. Belum pernah aku merasakan hilang kata seperti ini. Sudah cukup rasanya aku sampaikan runtutan kejadian yang aku tahu, untuk uang muka administrasi biarlah, aku ikhlas memberikannya untuk Tika, untuk segala sesuatunya dikemudian hari biarlah menjadi urusan keluarganya.
Sekali lagi wiwik menatap bangunan rumah sakit megah itu sebelum menyalakan mobilnya, matanya masih basah, sembab, tangannya mengambil beberapa tissue dan kertas Koran untuk menutupi bekas muntahan di joke belakang. Sejenak mematung dibelakang kemudi. Perlahan, sangat pelan, seakan mobil itu juga menjadi saksi gundahnya hati seorang wanita muda atas apa yang baru saja dialaminya dan membagi empatinya dengan bergulir pelan, meninggalkan sang dokter Hendargus Risam.
“ciittt…. Braaakkk… rhheeeemmmmmm…”, suara ban direm mendadak berdecit beradu dengan aspal disusul benturan benda berat, mengiringi deruman mobil melaju kencang.
“Tolongin… tolongin…..”
“Aduh… kasihan amat tuch bocah.”
“Hoii.. dasar mobil gila, klakson sembarangan !”
Terdengar suara – suara gaduh memecah kesunyian. Serentak wiwik menghentikan aktifitasnya, memutar kran pada posisi off, berhambur keluar pagar.
“Ya ampun, bawa kepinggir Pak, tolong motornya”
“Ayo, gotong – gotong – gotong !”seru yang lain.
Seketika itu juga kotak P3K ambil peranan, entah kali keberapa kecelakaan ini terjadi, seperti sudah menjadi rutinitas, jalan menikung itu menjadi ajang tabrakan kendaraan. Kelalaian pengendara tergesa – gesa ataupun mobil ugal – ugalan menikung tanpa mengurangi kecepatan sambil membunyikan klakson adalah salah satu dari sekian penyebabnya.
“Aduuhhh….. sakit..!”
Syukur dech merintih, berarti kesadaran gadis ini tetap terjaga. Luka dilutut telah selesai diperban, begitu pula siku kiri telah dikasih obat luka, tidak perlu dibalut karena hanya luka kecil, tapi kenapa banyak darah di baju, dari mana ini.
“Tolong dimiringkan Pak, saya curiga ada luka dikepalanya”
Benar, ada benjolan mulai membesar dikepala bagian belakang, luka cukup lebar, darah merembes menyusuri rambut, pantas tidak kelihatan.
“Ya ampun mbak, helmnya sampai pecah begini, lukanya besar tuch, darahnya mengalir terus”, Bapak berkopyah yang tadi tersenggol angkat bicara.
Handuk kecil dan gunting segera ambil peranan, luka coba dibalut, namun agak kesulitan karena robeknya cukup dalam. Darah belum juga berhenti, hanya sedikit terhambat oleh obat luka dan balutan perban.
--------------------0&0----------------------
“Ma’af bu, lukanya cukup serius, pertolongan pertama ibu lakukan sudah cukup untuk sementara ini, pasien perlu segera cityscan untuk lebih pasti mengetahui keadaannya.” Dokter jaga di rumah sakit berjarak 500 meter dari lokasi kejadian menjelaskan. Dibantu beberapa security, wiwik kembali mengangkat tubuh gadis itu kerumah sakit yang lebih besar.
Mobil kembali melaju, hari semakin senja. Semburat kuning diufuk barat makin kemerahan.
“Kondisi pasien cukup lemah, harus segera ditangani secara serius, untuk hal ini perlu cityscan, di sini belum tersedia alatnya, silahkan ibu bawa ke Rumah Sakit Sanno Medical guna mendapat perawatan secara intensif”, kembali dokter jaga dirumah sakit ini pun angkat tangan dengan alasan peralatan. Rumah Sakit sebesar ini alat scan saja belum ada, aneh.
Kembali mobil meneruskan perjalanan, tepat saat adzan magrib berkumandang, wiwik sampai ke pintu gerbang rumah sakit yang dituju. Besar, terkesan mewah, banyak mobil parkir di halaman samping menunjukkan kelas para pasien yang berobat maupun rawat inap disini. Dibantu seorang perawat wiwik segera menuju UGD, sejurus kemudian Tika telah berpindah ke tempat tidur dorong.
“Permisi dok, apakah pasien perlu segera city scan ?”
“Ya, lukanya cukup serius, anda keluarganya ?”
“Eh, bukan dok, saya membawanya kerumah sakit ini, pihak keluarga sedang menuju kemari sebentar lagi sampai.” Selama di mobil, wiwik sempat check beberapa nomor telpon terakhir yang dihubungi Tika lewat HP, dari sinilah diketahui sebuah nomor dengan inisial “home”. Pembicaraan singkat denganorang tuanya telah menguatkan hati untuk melakukan apa yang dipandang perlu serta tidak melanggar privacy korban – harus seizin family, bahkan kedua orang tua mengamanatkan untuk melakukan yang terbaik untuk anaknya. Kartu pelajar di saku samping tas sekolah menginformasikan “Mulan Swastika Rini” siswi SMUN Karestin, wiwik tahu keberadaan sekolah ini.
“Bagaimana bu, apakah mau langsung di scan ?”
Aneh, kenapa harus bertanya seperti itu, bukankah baru saja dokter menyarankannya ?
“Aduuuh…. Sakit…” Tika merintih pelan tergolek di tempatnya, kondisi makin lemah.
“Iya, segera lakukan yang terbaik dok.”
“Kalau begitu silahkan ibu kebagian radiologi tepat dilorong ujung sebelah kanan pintu masuk.”
Wiwik bergegas begitu terburu , sambil melirik kearah korban dengan perasaan cemas dan khawatir terjadi hal lebih serius, rasa penasaran belum juga hilang dari benaknya menyaksikan Tika belum juga diapa-apain.
“Ibu silahkan menemui dokter jaga untuk membuat konfirmasi bahwa pasien memang harus di city scan.”
“Tapi saya baru saja dari sana bu, dan dokter Haji Risam sendiri menyuruh saya segera kesini.”
Sekilas sempat terlihat papan nama kecil disematkan didada kiri dr H. Risam, sepantasnya wiwik menganggap initial H disini adalah gelar Haji walau sebenarnya bukan, melainkan hanyalah sebuah nama depan. Hendargus. Lengkapnya dokter Hendargus Risam.
“Saya hanya bertugas di sini bu, saya tidak berani menjalankan alat ini tanpa rekomendasi pak dokter !”
Bagaimana sich, jelas – jelas dokter tadi menyuruh saya kesini ke bagian radiology. Perasaan tak karuan dan bingung serta heran campur tak mengerti silih berganti keluar masuk di kepala.
“Dari pada saya bolak – balik kesana lagi, apakah tidak sebaiknya suster konfirmasi melalui pesawat aipon, karena biar lebih cepat, kasihan pasien sudah dari tadi menunggu, kondisinya juga makin lemah, saya khawatir darah di lukanya ada yang membeku bisa menimbulkan masalah kalau tidak segera dibersihkan.”
Apalagi ini, bukannya argumenku lebih masuk akal, kenapa suster ini malah memasang muka cemberut seolah tidak suka dengan ucapanku, apanya yang salah ?
“Ma’af bu, pasien belum dapat dibawa kemari, silahkan ibu menemui dokter kembali untuk konfirmasi”
Wiwik merasakan lututnya mulai bergetar, bukan karena capek, tetapi karena berbagai keanehan pelayanan yang serba lelet dan terkesan di pingpong kesana kemari.
“Apakah pasien perlu segera di city scan atau tidak dok ?” nada wiwik mulai meninggi.
“Sebaiknya memang dari tadi bu”
“Lalu, kenapa tidak segera dibawa ke radiologi ?”
“Silahkan ibu mengisi formulir dulu untuk segera kami ambil tindakan”
Apa-apan ini, hanya untuk city scan saja 750 ribu, harus dibayar dimuka.
“Ya ampun, kenapa tidak bilang dari tadi dok”
Seperti ini ternyata pelayanan disini, informasi administrasi saja harus berbelit – belit, harus bolak – balik dulu UGD – dokter jaga – ruang radiology.
“Apakah tidak bisa kalau di city scan dulu, bayarnya belakangan dok ?”
“prosedur disini memang seperti itu, saya hanya menjalankan tugas”
Mana sempat aku memikirkan hal – hal seperti ini, jam setengah tujuh, telah lewat magrib, mana belum sholat lagi. Bisa berfikir jernih dan tidak panik, tenang membawa mobil sendirian dengan segera membawa kerumah sakit saja sudah untung, boro-boro menyiapkan uang cukup, isi dompet paling Cuma 200 ribuan, itupun sisa beli pupuk kembang tadi pagi.
“Eh,… ma’af dok, apakah benar – benar tidak bisa kalau dibayar belakangan dok, pihak keluarga sedang dalam perjalanan menuju kemari”
“kalau untuk urusan itu, silahkan ibu kebagian kasir”
“Aduuhhh… sakittt….. hooeekkk…. hooekk..”
Tika kembali merintih, suaranya lemah sekali, kali ini seperti spontan didorong dari dalam, semua makanan muntah dengan hebatnya, tubuh terguncang, wajahnya pucat, bibir gemetar.
Prosedur apalagi ini, kenapa pasien kecelakaan jelas seperti ini, masih didiamkan begitu saja, bukannya langsung ditangani dengan tindakan pertama, apa yang aku lakukan tadi sekedar pertolongan pertama, serta terbatas, dengan dibawa kerumah sakit aku berharap segera mendapat perawatan secara intensif tenaga ahli, kenapa malah terbengkalai seperti ini. Wiwik menebar pandangan dengan perasaan makin tak karuan, terlihat dari gerakan – gerakan serba salah, bersedekap, menarik nafas panjang, merapikan rambut, menoleh kearah Tika. Ya ampun masih belum disentuh juga, gila. Lebih terkejut lagi saat pandangannya menyapu tempat duduk persis dibelakang dokter jaga. Dua orang dokter itu ngapain saja, bukannya membantu malah asyik sendiri mainin HP, itu lagi, perawat satunya malah ikutan ngobrol, acuh banget dengan semua ini.
“Tapi, kenapa pasien tidak segera mendapat perawatan dok, dari tadi semenjak saya datang, ke ruangan radiology, balik lagi kesini, masih belum juga disentuh. Sejak dalam mobil ia telah muntah dua kali dan sekarang terjadi lagi dengan lebih hebat, pertolongan pertama yang saya lakukan hanyalah untuk pengobatan luar. Saya tidak menyangka ternyata dibelakang kepalanya robek cukup dalam, bagaimana kalau ada darah beku masih tertinggal disana, apakah tidak akan membahayakan otaknya ? Kalau terjadi sesuatu dengan kepalanya bagaimana ?” Wiwik bicara tanpa henti, nada meninggi. Bagaimanapun juga ia telah kehilangan akal sehatnya dengan kejadian yang dialami sedari tadi. Kembali ia melirik, Tika terkulai lemas semakin tak berdaya, seorang suster mendekati hanya sebatas membersihkan muntahan tercecer dilantai, sementar dua orang dokter tadi hanya melihat sekilas dan melanjutkan kembali aktivitas mereka – ngobrol sambil sesekali memencet tombol – tombol HP. Secara naluri kemanusiaan, hatinya berkata kalaupun urusan administrasi bukannya sudah ada saya yang bertanggung jawab dan menunggui disini sampai pihak keluarga datang. Lagi pula melihat orang seperti ini siapapun seharusnya segera bertindak, bukan malah dijadikan tontonan begini. Potongan daging di pasar swalayan masih lebih berarti bahkan diberi label harga per satu gramnya, ditempatnya dengan begitu bersih dibungkus plastic tipis sehingga menarik untuk dibeli, ini, manusia hampir sekarat, teronggok tak berdaya diatas tempat tidur dorong disebuah Rumah Sakit besar jangankan dipegang, bahkan dilirikpun tidak oleh para dokter disekitarnya. Makin berkecamuk di dalam dadanya suara – suara berontak dan protes terhadap tenaga medis di Rumah Sakit.
Dokter Sam bangkit dari tempat duduk, menatap tajam pada sosok perempuan diseberang meja.
“Apa yang ibu lakukan sudah benar dengan membawa segera korban kecelakaan ke sini, satu hal yang ibu harus ketahui luka – luka itu harus dibersihkan terlebih dulu baru bisa dilakukan cityscan. Segala sesuatu disini juga telah ada prosedur yang sudah baku, Ibu harusnya tahu akan hal ini !”
“Kalau begitu kenapa tidak langsung segera dibersihkan, kondisi pasien semakin lemah, bahkan isi perutnya mungkin sudah habis terkuras, bagaimana kalau sampai terjadi dehidrasi, bagaimana juga kalau sampai mati ditempat ini, ditempat yang seharusnya mengobati orang sakit ?”
“Mati ada ditangan Tuhan, bukan urusan saya !”
Petir menggelegar memekakkan telinga, tidak ada hujan tidak ada angin, gemuruh didada wiwiklah yang membuat kilatan besar menyambar jantung seakan meledakkan paru – paru berubah menjadi kilatan guntur. Tersurut hampir terlompat kebelakang beberapa langkah sampai tubuhnya terpojok diantara tumpukan filing cabinet tempat beberapa arsip berjajar. Benar – benar tersudut, tangan gemetar mencoba mencari pegangan. Untunglah ada patung anatomi tubuh manusia disebelah kirinya, sehingga lutut lemas seketika masih bisa ditopang dengan memeluk patung telanjang dengan gambar perut dan jantung terlihat jelas. Matanya berubah nanar, kata-kata yang tadi tegas begitu lancar keluar dari mulutnya kini tercekat bagai terkunci di tenggorokan. Tanpa ia sadar, air mata menitik setetes, tak sempat meleleh dipipi, serta merta diusap dengan menggunakan punggung tangan kiri. BUKAN URUSAN SAYA. Inilah geledek terpanas menampar telinga, dalam sekejap menggugurkan anggapannya tentang seorang dokter, seorang tenaga medis, seorang penyelamat. Dari kecil hingga Lulus kuliah di IPB setahun lalu, dokter, sebuah kata begitu agung tertanam kuat di jiwanya, kini di Rumah Sakit ini, Pusat Kesehatan serba canggih, dengan peralatan mutakhir, para dokter specialis, perawat professional, ternyata telah mengingkari sumpah mereka sebagai pengabdi kesehatan.
“Bu … kan … U …. Rus ….. san …. Dok … ter…. !
Suara keluar dari mulutnya begitu terbata, bukan lagi lantunan kata – kata cerdas seorang mahasiswa pertanian dengan pola pikir terarah seperti selama ini. Bahkan sepintas lalu suara ini layaknya jeritan anak kecil ketika dilarang makan permen karet oleh ibunya.
Dua orang dokter sedari tadi hanya ngobrol dan main HP mulai memperhatikan, mendadak bangkit dari tempat duduk, begitu pula dengan seorang suster yang mengelap muntahan Tika. Bertiga segera mendekat, memeriksa lutut, tangan, siku dan salah seorang dokter dengan perawakan kecil berwajah bersih tanpa kumis intensif memeriksa kepala. Tersadar mereka oleh teriakan patah – patah wiwik, seperti tersadar akan dedikasi dan sumpah mereka pada saat pertama menjadi dokter, panggilan jiwa. Namun semua itu seperti terlambat dan tidak mengubah paradigma yang baru saja ditorehkan oleh seorang dokter Sam kedalam sanubari terdalam. Inilah bentuk penghianatan nyata panggilan hati seorang dokter.
“Bukan urusan saya” begitu terngiang, tak juga mau hilang, mendengung bagai ribuah lebah memenuhi gendang telinga menyusuri saraf mengalir menyatu dengan aliran darah menumpuk, membeku bersemayam lekat di dasar jantung. Di sini, di ruangn UGD sebuah rumah sakit terkemuda, dedikasi penyelamat manusia – dokter, telah terkoyak oleh sebuah drama tragedi kemanusiaan. Bentakan seorang terpelajar dengan predikat dokter – dokter Risam namanya, melemaskan persendian, meruntuhkan keyakinan bagamana agungnya profesi panggilan jiwa ini. Patung anatomi tubuh manusia di sudut ruangan jantungnya begitu terbuka, paru – paru, hati, usus besar, usus dua belas jari, limpha, semua terlihat jelas menggambarkan organ dalam bagian tubuh manusia, persis didepan filing cabinet tempat arsip seluruh pasien rumah sakit tersimpan, dimana sejarah pengobatan dan penyelamatan dicatat, menjadi saksi diantara mereka berlima ditambah seorang security yang – mungkin – sengaja dihadirkan untuk menjaganya agar tidak kabur meninggalkan tanggung jawab administrasi, kabur dari kewajiban pembayaran. Seorang berhati tulus berniat menyelamatkan seorang gadis kecelakaan lalulintas, bukan dokter – bukan. Ia hanya sekedar mahasiswa – bekas mahasiswa lebih tepatnya – yang mengabdikan ilmunya untuk merawat dan menyalurkan hoby tanaman hias. Namun sorang calon tukang kebun penyayang tanaman ini memiliki rasa kemanusiaan jauh lebih besar dan lebih tulus ketimbang dokter, apalagi dokter Hendargus Risam. Jiwa perempuan penyayang, berhati lembut telah dibuktikan dengan lembar demi lembar daun tanaman hias yang dirawatnya. Ya. Ia memperlakukan manusia terluka selayaknya membelai daun – daun di pekarangan kost tempat tinggalnya.
Dalam sujut terakhir, ia tumpahkan air mata, ia kuak seluruh penat didadanya, ia mengadu pada Sang Pencipta atas apa yang baru saja dialami. Carut marut perasaan mulai menipis hingga akhirnya memudar, dengan basuhan air wudlu dan ciuman hangat pada sajadah di mushola Rumah Sakit, lega perasaan mulai terkembang kembali seiring ucapan salam penutup sholat magrib yang ia lakukan. Jam tujuh kurang lima, lima belas menit lagi waktu isya’ datang. Mungkin aku minum dulu di kantin sekedar melancarkan air ludah yang mendadak tersangkut ditenggorokan. Orang tuanya telah datang, bahkan namanya mereka pun aku belum sempat tanya. Rasanya ingin mengetahui keadaan Tika lebih lanjut, informasi singkat kejadian yang menimpa anaknya belum sepenuhnya aku ceritakan secara tuntas kepada kedua orang tua itu, bukannya aku tidak mau, bukan, ini semua murni karena ulah dokter itu. Belum pernah aku merasakan hilang kata seperti ini. Sudah cukup rasanya aku sampaikan runtutan kejadian yang aku tahu, untuk uang muka administrasi biarlah, aku ikhlas memberikannya untuk Tika, untuk segala sesuatunya dikemudian hari biarlah menjadi urusan keluarganya.
Sekali lagi wiwik menatap bangunan rumah sakit megah itu sebelum menyalakan mobilnya, matanya masih basah, sembab, tangannya mengambil beberapa tissue dan kertas Koran untuk menutupi bekas muntahan di joke belakang. Sejenak mematung dibelakang kemudi. Perlahan, sangat pelan, seakan mobil itu juga menjadi saksi gundahnya hati seorang wanita muda atas apa yang baru saja dialaminya dan membagi empatinya dengan bergulir pelan, meninggalkan sang dokter Hendargus Risam.
ajarin aku bikin cerpen yang nyentuh dong mas...hehehe...
BalasHapussalam kenal
mena