Jumat, 14 Maret 2008

remote control

Sore itu mulai gerimis ketika kaki kananku memasuki pintu rumah. "Assalamu 'alaikum....!!!" teriakku kencang mengagetkan. sengaja dari jarak 15 meter sebelum sampe depan rumah mesin motor bebek yang biasa aku pake pergi pulang kantor aku matikan ketika melihat sepi suasana depan rumah.

biasanya isteri dan dua anakku - rangga & nimas - sedang becanda bersama sekumpulan ibu² muda dengan masing - masing anaknya di beranda rumah, namun karena sore ini mendung dan mulai nampak rintik hujan sepantasnyalah mereka semua di dalam rumah sambil berkegiatan ala kadarnya.

ada yang hanya duduk bengong sambil memilah - milah bon yang harus dibayar, ada juga yang menemani anaknya belakar, namun yang lebih banyak dilakukan adalah senyum² sendiri di depan tv nonton sinetron kesayangan.

tak jarang pulang kening berkerut terbawa oleh alur kesedihan yang dilontarkan sang sutradara.
Dengan langkah berjingkat dan nyaris tak terdengar, aku pelan membuka pintu dan begitu kepala nongol kuucap salam dengan sekuat mungkin. Rangga yang sedang merangkai bangku plastik yang di copot² kakinya, nimas yang sedang membolak - balik buku pelajaran PPKN, sementara isteriku yang sedang asyik mengamati PR matematika yang baru saja selesai dikerjakan nimas - lebih tepat memeriksa - lebih spontan lagi kaget atas ulahku.

"wa 'alaikum salam...!!!"

Rangga yang baru satu setengah tahun dan sedang cedal²nya bicara serta hanya beberapa perbendaharaan kata sanggup diucapkan - maem, mama, nenen, dan satu bait lagu atu..atu....- berteriak girang memamerkan gigi - gigi putih mungil yang belum sempurna numbuh.

atu - atu merupakan penggalan kata "satu - satu" yang berkelanjutan dengan lagu "satu - satu aku sayang ibu".

"Ayaaaahhhhh.........!!!!!", luar biasa daya magis dari ucapan si botak ini, lesu bawaan kantor mendadak menguap.

Dengan melonjak tuyul mungil ini menyerbu bapaknya yang masih memakai jaket, kaos kaki dan kaos tangan sehabis berkendara motor. Aku pun langsung menyambut dan menggendong dengan satu tangan serta menduduk kannya kembali di lantai dimana ia berserakan dengan segala maiannya - bola, kursi yang belum selesai dirangkai, robot²an, tembak²an, mobilan kecil dan juga keranjang basket yang lepas dari tembok karena di tarik paksa olehnya.

Letihku, lelahku, sayu mataku mendadak sumringah mendengar seruah "ayah" dari mulut mungil si botak - Rangga. Namun ada yang terselip aneh dalam suasana sore ini. Isteriku nampak muram sambil membolak - balik buku pelajran Nimas - anakku yang pertama kelas 4 SD sambil mengerutkan kening sesekali cercaan keluar dari mulutnya memarahi nimas atas nilainya yang terus merosot di awal semester tahun ini.

Di sudut laen, Nimas pun pura - pura serius di depan meja belajar sambil menghafal Qurdis - Qur'an Hadits - yang telah sampai lumayan jauh serta hafalan Qur'an yang telah 4 kali lipat dari hafalanku sendiri. Bangga juga melihat apa yang dibukanya - lebih ektrimnya iri mungkin - di sudut pojok kiri atas halaman kertas tertera "juz 28" sedangkan di tengahnya tertulis "al-mulk". Ternyata Nimas bukan hanya telah menghafal lafadz surat itu ayat demi ayat melainkan sekarang telah mencoba menghafal tafsirnya. Sedangkan aku -bapaknya - juz amma juz 30 puluh saja telah lama lenyap dari hafalan.

Padahal dulu dengan lancar dan fasih telah ku hafal diluar kepala bukan hanya lafadz melainkan lengkap dengan tafsir dan penjelasan serta golongan surat sebagaimana saat SMP telah menghafal butir² P4 pasal demi pasal UUD 45 dari pembukaan sampai penjelasan bahkan GBHN Pelita Repelita , namun karena telah terkikis terhanyut oleh arus "budak dunia" semua itu lenyap seiring dengan bertumpuknya bermacam kebutuhan yang harus aku penuhi dari mulai bayar PLN, cicilan rumah, cicilan kartu kredit, arisan blok, jajan anak buku anak dan tetek benget benda duniawi lainnya.

masih ditambah lagi setiap hari ada saja sales kartu kredit yang nyasar di extention kantor saat sedang konsentrasi memolot di layar komputer, ndak tahu apa klo di selipan dompet telah ada 9 kartu berjejer menunggu tanggal jatuh tempo dan hanya sempat terbayar tagihan minimum.

Sejurus aku duduk di kursi tamu dekat meja belajar Nimas, sambil melepas kaos kaki jaket dan kaos tangan, aku lepas kaca mata dan mengucek mata dengan lembaran tissue. Aku melihat raut muka anak perempuan itu kurang begitu jenaka seperti biasanya. Sekeliling aku memandang dan menebarkan "insting". Firasat kecil mengatakan "ohh... ternyata bidadari kecilku ini barusan di semprot oleh ibunya berkenaan dengan nilai² yang kian memudar", begitu bisik instingku.

Belum sempat minum dan dengan keringat masih basah dipunggung, jaket dan kaos yang aku kenakan telah lepas dari tubuhku, bertelanjang dada sambil terus mengamati Rangga yang makin asyik dengan bola² kecilnya, isteriku yang sedang serius menghayati soal demi soal matematika PR Nimas, serta nimas sendiri yang komat - kamit mendesiskan lafadz arab.

mereka adalah obat lelahku, meski terkadang kebebasanku terasa terenggut secara mutlak oleh mereka. inilah tantangan terbesar dalam diriku untuk memerangi diri dari segala hedonisme dan ego pribadi. aku bukan lagi hidup untuk diri sendiri, aku bukanlah lagi milikku, namun milik mereka. Selain iseng dengan mengagetkan mereka dengan ucapan salam menggelegar saat pulang tadi, kini timbul pula urat isengku untuk membuat suasanya cair dalam keheningan sore ini. Jam dinding telah menunjukkan jam 7 lewat 5 menit.

"Orang - orang kini makin tak berkurang kesabarannya, kian banyak saja orang yang berlomba menunjukkan kekasarannya"
begitu celetukku, namun masih tiada respon dari seluruh penghuni rumah.

"Tadi di tambun, dari jendela kereta nyata - nyata seorang bayi baru lahir tapi tak ada yang mau menolong kecuali ibunya sendiri, apa mentang² tidak jelas bapaknya, terus tak ada satu orang pun yang peduli ?" aku masih berkhotbah sambil sesekali melirik isteriku dan nimas yang tentu saja langsung penasaran menoleh kearahku serentak menghentikan hafalannya namun tangan
nya masih memegang alquran.

"dipinggir peron stasiun, bayi lahir dan tak satu orang pun mau mendekati, malah berembutan menyingkir sambil menutup hidung jijik, beberapa meludah malah" ceritaku.

"apa mereka pikir merekalah yang paling suci ???" imbuhku memancing emosi.

"hiii... koq bisa sich ?" timpal nimas sambil melongo.

isterikupun mulai tertarik dan sejenak melirik walau hanya sesaat, dan sekejap kemudian telah asyik lagi memeriksa PR matematika nimas.

"Bener, bayi lahir di emperan peron stasisun, tadi dari kaca jendela kerata ayah lihat.
"tak seorang pun mau mendekat, boro² menolong.
"gerimis begini lagi, kedinginan tak pake baju, bahkan selembar kain pun tak ada.
"orang² memang sudah pada bebal rasa kasihannya"

nimas semakin tertantang jiwa penasarannya.
"masya' sich yah, kasihan banget" imbuhnya.

aku pun melanjutkan cerita.

"anehnya bayi itu seperti tahu keadaan dirinya, dan tak peduli dengan sikap acuh orang yg lalu lalang mencibirnya. sang ibu bayi juga dengan penuh kasih karena merasa hanya sendirian dan tak ada yang peduli. ibu bayi mendekati menciumi anaknya dengan lembut dan mulai membersihkan air ketuban yang menempel disana sini di sekujur bayinya dengan sangat telaten.
mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki tak terlewatkan setetes pun air ketuban yang tadinya belepotan. tahu gak mbak ? " tanyaku tiba - tiba pada anakku nimas dan tanpa menunggu jawaban aku kembali melanjutkan ceritaku.

"bayi yang baru lahir dan hanya ditungguin ibunya itu sungguh ajaib. kasihan bener bapaknya yang tidak bertanggung jawab itu karena tidak melihat keajaiban anak yg ditinggalkannya.
baru sekitar setengah jam lahir, ia langsung berlatih berdiri. bahkan belum makan apapun, jangan kan makan, minum susu ibunya juga mungkin belum. sungguh Allah maha kuasa, disela cibiran orang yang lalu lalang tak peduli, di tengah hujan rintik gerimis bayi itu mendapatkan karunia yang luar biasa. meski masih goyang - goyang bayi itu berdiri dengan pasti setapak demi setapak mulai melangkahkan kaki dan... ajaib.... subhanallah....... ia bisa jalan"

sampai disini Nimas semakin terbengong, bahkan isteriku yang serius dengan buku PR matematika anaknya angkat bicara.

"memang orang² gak pada heran melihat bayi bisa jalan ? koq aneh ? ayah bohong kali ?" sergahnya.

kata - kata isteriku yang lebih matang penalarannya mencoba menyerangku karena tahu bagaimana reputasi sejak masa pacaran dulu, beda halnya dengan nimas yang masih lugu dan polos. serius banget dan terkagum - kagum pada mu'jizat sang bayi.

"banyak koq yang lihat, tapi sayang ayah cuma lihat dari dalam kereta. udah gitu kereta keburu jalan" sergahku.


------------------------------------

"plakkkk........!", mendadak suara remote tv mendarat di punggungku yang mulai kering keringatnya.
serentak aku beranjak dari kursi dan bergegas menarik handuk di sampiran jemuran di dapur.
langkahku tergesa karena menghindari mendaratnya remote untuk kedua kali dari tangan gemas mungil anakku. di kamar mandi sambil mengguyur air ke sekujur badan mulutku masih senyum dan ketawa sendiri.

sementara di luar sana - diruang tamu - nimas menggerutu sejadi - jadinya.
"Dasar... punya bapak satu saja error, anak kambing diomongin !Siapa juga yang mau ndeketin kambing beranak !"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar