Senin, 06 April 2009

(cahaya) Sholat Menolongku

“Jiwamu sudah terlalu kotor, tak kan bisa melihat keindahan alam ini. Boro-boro menikmati. Kamu mesti bersihkan dulu tuch penyakit-penyakit di dalam dada. Atau, selamanya kamu akan buta!”

Suara itu menggelegar. Pekak telingaku. Sesaat aku mencoba menyadari apa terjadi. Aku mengingat kejadian terakhir sebatas aku paham. Darah kembali menetes dari pelipis. Siku dan lutut nyeri. Pinggang seperti terbakar. Detak jantung sudah tak terukur lagi. Mungkin 6,9 skala richter.

Beberapa menit yang lalu, aku naik –pulang kantor- kereta dekat pintu. Penumpang penuh sesak membuat aku harus bergelantungan. Kaki kanan diluar, kaki kiri mendapat pijakan. Dengan berpegangan sebelah tangan karena harus berbagi dengan penumpang lain. Aku merasakan sendi-sendiku rontok mempertahankan keseimbangan.

Perjalanan sore ini sungguh menyiksa. Atas dasar kemanusiaan yang sudah terkikis habis, jadwal kereta dimundurkan. Membuat dua gelombang harus ditumpuk ke dalam satu jam pemberangkatan. Atau, ini hanyalah strategi untuk menyingkirkan kaum kelas bawah?

Aku kasih gambaran bagaimana suasana dikereta saat itu. Bayangkan saja ketika dijawa timur terjadi pembagian zakat oleh seorang haji. Dan, kamu termasuk salah satu peminatnya. Perut laper oleh keterpaksaan. Hawa amarah begitu gampang mencuat karena keterhimpitan. Menyibukkan dirimu dengan antrean luar biasa panjang. Pengin keluar, tapi, butuh atas apa yang ada diujung sana. Maunya terus, tapi, kekuatan sudah makin tak berdaya.

Kaki berpijak tidak pada tempatnya. Kemana hidungku menghadap, disitu pula aroma tengik keringat dari bermacam jenis bau menyengat berebut memehuni lubang hidung yang cuma dua itu.

Keringat, bukan lagi barang mahal yang diperhitungkan oleh para pemuja pelangsingan badan. Diobral, siapa saja mau menampung. Baju sudah seperti direndem. Basah. Total basah, sampai ke cancut dan bra (khusus bra, untuk seorang cewek didepanku tentunya. Aku, mana boleh pakai) pun ikutan protes karena bau asem. Keduanya pun kuyup. Tak tahan pengin segera dikucek, atau paling tidak direndem sama deterjent. Secara, dua benda yang dibungkus oleh material itu rawan beraroma tak sedap jika sudah keringetan lebih dari sekali.

Begitu dorongan ataupun desakan dari arah manapun, depan, belakang, samping kanan, kiri, (hanya dari atas aja tak ada yang mendorong) keseimbanganku tak lagi ada. Jempol kaki bukan lagi barang istimewa yang selalu dilindungi dan dipotong rapi kuku-kunya seminggu sekali. Keinjek dan kegencet sudah biasa. Tanganmu sudah tidak dapat lagi melindungi pantat seandainya ada tangan gerayangan mengincar dompetmu.

Itulah sebabnya, kondisi seperti itu jika ada copet ketangkap hanya satu hukum berlaku –lempar keluar kereta- bunuh. Hajar. Bakar. Bukan semata salah kami. Jiwa kami sudah sedemikian panas. Ditambah duit ongkos selembar-selembarnya untuk perjalanan satu bulan, dicopet gitu aja. Sudah tahu begitu, panas bagai dipanggam dalam oven, petugas kereta sesuka hati saja menahan kereta ekonomi berpuluh menit hanya untuk mendahulukan express yang ber-AC itu. Kalau saja, ada tinja di tangan, tentunya sudah dilempar ke wajah itu petugas.

Ketika dorongan dari dalam tak lagi dapat kutahan (ingat, aku dipintu, gelantungan). Begitu kereta agak menikung, tanganku bener-benar kram. Kakiku yang berpijak hanya sebelah tak mampu mencengkeram. Aku pun lepas pegangan, dan, wush…. Badanku terlempar keluar.

Aku berguling, menuruni tiang jembatan. Badan ini terbentur besi beton. Kepalaku mendapat sambutan batu segedhe kepala kerbau sebelum akhirnya mendarat mulus disebuah cerukan. Mirip goa. Tapi, bukan. Hanya sekedar cerukan pinggir sungai yang cukup dalam. Gelap. Sekira jam setengah delapan malam. Hanya suara jangkrik. Kodok, atau,…. Ah, mungkin aku pingsan.

Begitu nyadar, aku sudah berasa di dunia lain. Sunyi. Tak ada angin. Tak ada kehidupan. Aku bingung apakah mati atau di surga? Kalau neraka, tak mungkin. Aku sudah sholat dengan benar –paling tidak menurutku. Aku juga udah puasa sunnah. Tahajud, sesekali lah. Baca qur’an? Ah, aku tak begitu paham. Makanya tak seberapa sering kulakukan. “Lantas, alam apa ini namanya?” batinku berkata.

Kemudian, kudengar-dengar suara itu lagi, menggema dari sekeliling dinding goa. Sejenak aku ragu apakah suara itu untukku. Karena gelap, aku beranggapan bahwa akulah yang maksud.

“Berapa kali dalam sehari semalam makanan haram –kotor- melewati tenggorokanmu. Kau tampung dengan begitu rakus. Tertimbun dibalik kulit. Setiap tahun mengendap menjadi tambahan beban otot-ototmu. Berat badanmu. Tiga puluh tahun lebih. Sadarilah itu.

“Asal kamu tahu, itu bisa saja racun jelmaan dari saripati haram dan kotor itu. Meskipun sebenarnya kau paham, apa itu halalan toyiban. Pada dua setengah persen penghasilanmu –yang sering kau bilang jerih payah peras keringatmu- ada hak orang lain. Anak-anak yatim. Nini-nini, kaki-kaki, janda-janda tua, jompo. Semuanya! Tanpa sisa kau hisap hak mereka. Kau telan semua jatah mereka.

“Tubuhmu bisa saja bagus. Besih dan kelihatan cerah. Kelebihan daging di sana-sini. Boleh saja kau bilang itu sebagai perlambang kemakmuran. Kesuksesan.

“Siapa sangka dibalik itu, jiwamu mengkerut. Digerogoti, termakan oleh racun itu. Ruang untuk jiwamu nyaris tak ada lagi. Terdesak oleh gumpalan-gumpalan lemak yang kian hari semakin menjadi tumpukan gunung disana-sini.”

Tanganku gemetar jemariku lumpuh seketika. Keringat dingin banjir bak air mancur dari sekujur pori-poriku.

Dadaku sesak, napasku tersengal. Aku teriak sekuat tenaga. Tak ada suara keluar dari kerongkonganku. Tercekat.

Dari angkasa, melayang pelan tapi pasti sebuah cahaya. Guratan cahaya. Selaris tipis. Begitu indah. Menenteramkan. Warnanya putih. Sayang hanya kecil. Sayang hanya tipis. Entah kenapa aku begitu mengharap cahaya itu mendekatiku. Dan, aku yakin cahaya itu untukku. Milikku. “Duhai cahaya indah, engkaulah penolongku”, batinku penuh harap.

Cahaya itu mempermainkaku. Melayang rendah. Tinggi lagi. Berputar-putar. Tanganku menggapai. Dalam lemahnya jemari mengembang. Putaran itu semakin rendah. Ketika lunglai badanku semakin parah. Saat harapan bertambah goyah. Mataku semakin sayu. Aku hanya pasrah pada entah –sesuatu- belum pernah terjamah.

Dalam keprihatinan, ketakutan, kecemasan, berbaur entah dengan komposisi seperti apa. Cahaya itu iba padaku. Tersenyum. Merendah dan mendarat didadaku. Tanganku, dengan sisa tenaga menggapai. Cahaya itu lembut tersentuh telapak tanganku.

Hawa sejuk meresap. Rasa nyaman menjalar mulai dari ujung jari, pergelangan, lengan, siku. Merambat begitu pasti. Kekuatan itu menuju mataku. Terbuka. Aku genggam cahaya itu semampuku. Membebaskan himpitan di dadaku. Aku teriak sekuat tenaga “Allahu Akbar!”

Dan,

“Heh!” sebuah tangan mengguncangku, “mimpi perang lagi?” istriku berkata. “Ya ampun kringetnya. Lagian, biasa isya’ dulu baru tidur. Ini, pulang kerja main merem aja. Mana kalau tidur kayak orang mati lagi. Udah, sana sholat!”

“Astaghfirullah hal adzim” mataku terpejam. Aku mengelap keringat di seluruh wajah. Leher terasa masih tercekat. Dan, keringat ini, nyata. Benar-benar keringat. Bukan air! Sebagaimana istriku kalau membangunkan suka mencipratkan air diwajah. Bukan.

Aku jilat, “jihh! Asin.” Bener-bener asin.

Nyaris nyata, jantungku berdegup kencang. Ketakutan itu benar-benar terjadi padaku. Kecemasan itu. Apa arti semua ini? Apa maksud cahaya itu. Dan, kenapa hanya kecil sekali. Haruskah aku tidur lagi untuk menemukan jawabannya? Atau, lekas bangun dan sholat.

“Ah, dasar syetan!” hardikku. Aku bangun dari kursi itu dan beringsut kekamar mandi. Luar biasa capek rasa badan ini. Pekerjaan seharian ini begitu menguras tenaga dan pikiranku.

Aku baru merenung-renung sambil memegang gayung siap mengguyur badan; kalau kamu main-main dengan sholat subuh, maka dijauhkan dari berkah rejeki. Dhuhur, wajah berseri. Ashar, sehat. Magrib, waduh lupa. Trus, kalau isya’, dijauhkan dari ketentraman malam. “Pantes aja. Aku belum sholat isya’”, batinku.

Tapi, apa iya cahaya sholatku hanya setipis itu? Ah, itu kan Cuma mimpi. Lagian, mana ada goa bisa bicara. Ngaco!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar