karena saya mau hidup, maka saya menulis
Posted by salwangga on 10 Jun 2008 at 12:39 pm Tagged as: Umum Edit This
Bagi rekan seangkatan (SMO-3) atau angkatan pertama dan kedua yang hendak menimpali tulisan ini, silahkan. Lebih tepatnya sangat saya harapkan. Tapi untuk saya jawab komentar tersebut, atau menulis kembali di blog menulis ini. Saya tidak bisa janji, melainkan motto cadangan yang bicara –menulis adalah hak saya- yakni tergantung urgenitas dan kondisi tentunya. (wuih… nich orang cuex amat! Emang siapa sich ?)
Lingkaran kehidupan seakan menjelma menjadi lingkaran setan. Koq setan? Kenapa tidak buat lingkaran kesenangan?
Penginnya sih, tapi masak hati sendiri mau dibohongi, suasana sudah tidak enak, bahkan tidak pernah enak. Mau dienak-enakin. Ditutup-tutupin. Makin mati dong. Penuh kepura-puraan. Pagi berangkat kerja, seharian di kantor, nunggu jam pulang. Job desc pun hanya itu-itu saja, tak kunjung ada perubahan. Jenuh. Senin nunggu jumat. Minggu pertama berharap segera lewat, tanggal akhir bulan pun sangat ditunggu. Begitu setiap hari. Stagnan. Keseharian ibarat robot, harus bekerja demi mendapat gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masih terngiang masa-masa doyan pacaran eh, sekarang sudah tiga puluhan. Hampa. Jiwa seperti mati.
Sayang memang, saya termasuk orang yang terjebak dalam komunitas tulisan diatas. Untungnya, ada sedikit celah saat saya mendapat kesempatan secara tidak sengaja membuka internet eksplorer di komputer teman sekantor, ternyata connect. Sejak saat itulah, saya tahu ternyata si teman itu (atasan/senior saya) mendapat fasilitas browsing. Makin cemburu saja rasanya, ternyata saya benar-benar kuli rendah. Hanya sebatas buruh pabrik, mesin pembuat uang bagi management. Mau protes, atau minta fasilitas dapat akses internet, segera tahu diri. Apa pangkat saya? Apa pendidikan saya?
Wah, senangnya hatiku. Dari mulai asal klick, nyasar, komputer hang kebanyakan open new window sampai kepergok. Pernah juga nyasar ke situs tak terduga membikin mata terbelalak, pikiran memanas, diiringi jantung berdegup tak berirama semestinya. Deg deg plas, deg deg plas. Plas plas deg, plas plas deg. Akhirnya plas, plas,plas. Bablas! Orang-orang sudah berkutat dengan dunia blog, bahkan web design. Tidak sedikit malah sudah berbisnis online dan hidup sukses hanya dari internet. saya baru mulai melek.
Rasa kagum (tercengang) saat main kata pencari lewat google search engine, pernah waktu itu kata kunci yang aku pakai “cerita” dengan maksud mencari cerita-cerita pendek. Eh, yang muncul malah cerita seru. Begitu saya klick satu persatu, loh! Dapetnya koq cerita aneh. Mata tak mau diajak kompromi, jadi dech. Baca!
Selayaknya anak kecil baru bisa naik sepeda. Bangun tidur sepeda, siang hari terik saat ibu berteriak “tidur! Udah siang!”, hati tetap ngotot bersepeda. Bahkan malam hari saat harus istirahat, mau tidurpun sepeda dielus, dibelai. seperti tak kan ada lagi hari esok. Begitu menggebu untuk nangkring diatas sadel. Ibu, bapak, kakak geleng kepala menyaksikan tingkah itu. Mereka hanya bisa tersenyum, antara maklum dan kesal. Pengin marah, tapi menggelikan.
Karena itu jika anda yang kebetulan membaca tulisan ini, silahkan saja tersenyum membayangkan saya yang baru bisa akses internet. Nebeng di kantor, pinjem komputer teman lagi.
Bosen situs cerita seru, cerita panas, cerita heboh, dan seterusnya. Saya klick lagi lewat mesin pencari dengan kata kunci lain. Ketemu dech situs “sriti.com”. setiap ada kesempatan, cerita demi cerita pun saya download kemudian print, baca diperjalanan pergi dan pulang kantor. Gairah bekerja kembali tumbuh, perasaan hampa pun perlahan tergeser menjadi rasa senang. Ada hiburan baru, download cerita-cerita pendek!
Searching demi searching pun terjadi, bahkan telah bisa membuat account email di google. Wuihh… senengnya, serasa sayalah paling pinter. Sampai-sampai setiap ketemu kenalan baru, tidak pernah absen aku tanyakan adalah”punya alamat email gak, catat nich punya gw”. Apalagi ketemu temen lama, anggapan saat itu mereka tak punya user mail. Dengan narsisnya aku katakan “bikin aja, gampang koq. Kalau perlu sekarang juga kita ke warnet. Gw bikinin dech!”
Pada pencarian berikutnya, ketemu dech situs Sekolah Menulis Online. Seakan menemukan setetes embun disiang terik. Mak nyeees, segar mesti cuma setitik. Seketika itu juga keinginan yang pernah muncul saat membaca novel The Best Laid Plan nya Sidney Sheldon kumat lagi. Obsesi untuk menggeser popularitas novel itu kambuh lagi. Menjadi penulis novel pengguncang dunia. Mungkin gak ya? Belajar! Pasti bisa! Tempatnya, ya Sekolah Menulis Online ini.
“Saya harus belajar, dan pasti menjadi murid SMO. Harus!” pekik saya. Melebihi teriakan merdeka atau mati kakek saat mengusir penjajah belanda dari tanah pertiwi. Api kehidupan (keinginan menulis) yang telah lama mati, terpercik kembali. Berpuluh tahun lingkaran setan gajian membelenggu rutinitas kehidupan, mendadak pecah. Keinginan bisa menulis begitu menggebu. Mendesak-desak, seakan menjebol tanggul emosi jiwa ini.
Akhirnya, terimakasih bung jonru. Telah menerima saya menjadi murid SMO.
Disela senggang waktu menyelesaikan laporan-laporan manufacturing di kantor, saya selalu menulis. Apa saja. Entah cerita saat perjalanan. Entah menuliskan kembali berbagai artikel yang saya baca. Dengan sudut pandang dan gaya penulisan (penguasaan kata) saya tentunya. Pokoknya apa saja. Saya juga membangun sebuah millist bayangan dilingkungan kantor. Komentar demi komentar rekan se nusantara pun muncul, sahut²an. Bahkan kalau lagi full job, mesti banyak laporan harus diselesaikan. Kesempatan menulis nyaris tak ada. Teman-teman di millist bayangan protes “mas, mana tulisannya. Koq ndak muncul lagi?” tambah semangat rasanya.
Kejadian menarik, geli, sekaligus menggugah kreatifitas menulis. saya mengupas tentang iklan produk (company saya). saya bandingkan dengan iklan kompetitor saya puji, sebaliknya iklan sendiri saya jelek-jelekkan. “Pemilihan bintang iklan mubazir, diksi yang dipakai asal-asalan, sampai kapan adopsi bahasa gaul gak jelas momentnya!”kata saya.
Eh, pihak tersangkut ada yang marah. Sampai turun gunung, jauh-jauh dari Menara Sudirman disempatkan ke pabrik Ancol hanya untuk melihat “Salwangga itu yang mana sih, itu tuh yang jelek-jelekin produk kita?” saking penasarannya. Apesnya lagi, itu orang tidak ketemu dengan saya.
pelajaran penting saya petik dari kejadian ini, “yang saya kritik iklannya, bukan pelakunya. koq malah sakit hati? Murid SMO saya yakin tidak seperti ini, yang dibantai mentor adalah karyanya, bukan orangnya.”
penasaran, saya baca berulang-ulang apa yang saya tulis. kenapa para dewa gerah sampai turun kahyangan?
Millist bayangan saya maksudkan disini adalah, saya mengirimkan ke beberapa rekan cabang (factory) dari medan sampai makasar secara bcc. Sehingga mereka hanya bisa reply satu arah kepada saya. Ada yang protes, mencaci, juga curhat. Sesekali atasan tahu klo saya suka nulis, negur juga sich. Tapi, “menulis adalah hak saya”. Kewajiban tak terbengkelai, tak ada yang salah. Laporan juga tepat waktu. Justeru saya lebih betah didepan komputer dari pada kelayapan. Buru-buru ingin segera selesai mengerjakan laporan, agar cepat bisa menulis.
Ya, menulis adalah hak saya. Tak sengaja saya menemukan motto untuk memberikan semangat diri.
Tapi,
Jadi teringat seorang di pembelajar dot com, mantan TKW hongkong sekarang tinggal di banyuwangi. Belajar menulis harus main kucing-kucingan dengan lirikan liar majikan. Namanya Eny Kusuma. Ia juga jebolan SMA, berhasil menulis sebuah buku “anda luar biasa”. Bahkan sekarang menjadi pembicara public dan motivator. Ia mengusung “belajar adalah hak saya” menjadi motto hidupnya. Jadi ragu dech, mau pake motto itu. Dikira ikut-ikutan kan repot. Mana saya sudah biasa tampil beda pula. Kurang sreg klo ada yang nyamain.
Setelah saya resapi, jiwa saya merasa lebih hidup dari kegiatan menulis. Imaginasi menggelegak terbang bebas tak terbatas aturan. Lingkaran setan (rutinitas kerja), menjelma menjadi kegiatan menyenangkan. Kerja bukan lagi beban. Akhirnya saya menemukan motto sesuai kondisi. “Karena saya mau hidup, maka saya menulis”. Bukan hanya untuk saat ini, tetapi untuk segala zaman. Jika sehari saja saya berhenti menarikan jari menggoreskan pena menggulirkan tulisan, berarti saya kembali mati! Ya, benar. Inilah motto utama saya biar tetap semangat menulis. Meski saya mati, tulisan saya tetap hidup.
Memang jiwaku telah lama merana, bak daun kering tertiup angin. Hanya dapat mengikuti kemana angin berhembus tanpa punya pegangan pasti. Kini semua itu tak lagi berarti, aku bukan lagi selembar daun tanpa opini, melainkan pena yang akan selalu membuat hidup. Saya tidak mau mati, atau sekedar bangkai berjalan tanpa makna. Oleh karena saya mau hidup, maka saya menulis!
-->
7 Responses to “karena saya mau hidup, maka saya menulis”
on 10 Jun 2008 at 2:34 pm edit thisKania
wah… wah…1. Hebat sekali motto hidupnya2. Seru sekali biografinya3. terima kasih sudah mengingatkan
Asyik tulisannya…
on 10 Jun 2008 at 4:11 pm edit thisHeri Ispriyahadi
to be frankly tulisannya menggugah kita bagi yang senang menulis. Kita dipacu untuk selalu menulis apa saja yang menjadi perhatian kita. Tidak peduli dimanapun kita kegemaran menulis harus dipelihara. Dengan menulis semua apapun masalah yang kita hadapi menjadi ringan. Oke selamat Mas Salwangga teruskan proses kreatif nya dan motto nya menjadi mesin motivasi yang dasyat.
Salam kenal dari Heri ispriyahadi
on 10 Jun 2008 at 5:32 pm edit thislita
Huebaaatt…! Maju terus Mas!
on 11 Jun 2008 at 7:06 am edit thisSunlita Citra Tanggyono
bahasa yang segar untuk sebuah esai, ada pun demikian saya kira akan jauh lebih mengena (menurut saya) apabila bungkus terluarnya adalah baku. strukturnya rapi, dan isinya segar, waah saya kira Bung Salwangga pasti bisa, karena ketika memberi komentar ke karya-karya lain bahasanya jauh lebih terstruktur. .
on 11 Jun 2008 at 8:51 am edit thissalwangga
Kania, th’s atas supportnya. membaca comment Kania jadi spirit tersendiri.
Heri Ispriyahadi, matur nuwun pituturnya. kata pak dhe saya di kota kecil pati (garudafood)kalau mau maju memang harus mampu menyemangati diri sendiri dulu.
Lita, makasih ya. kadang kala harus mundur loh. bukan menyerah, tapi ambil ancang-ancang untuk maju lebih pesat. selayaknya ketapel (plintheng), klo mau melepaskan kerikil harus ditarik dulu kebelakang kan?
Sunlita Citra Tanggyono, makasih banget atas koreksinya. untuk tatabahasa diriku ini memang super kacau. akibat kenakalan masa kecil “sering ngintipin guru bahasa indonesia”, imbasnya sampai sekarang jadi kacau. kutukan kali ya?
on 11 Jun 2008 at 9:06 am edit thisSunlita Citra Tanggyono
tentang tatabahasa. . salah seorang teman pernah merekomendasikan buku “bahasa indonesia” oleh widjono hs, penerbit grasindo. siapa tahu Pak Salwangga berminat.
on 11 Jun 2008 at 11:12 pm edit thisRina Kustriani
weehhh segerrrrrrrr rek..!asyik mas…bacanya gak bosen.. asik
semangat terus nulisnya ya,mas?
BalasHapusnona igun, eh salah. ivana maksudnya.
BalasHapusterimakasih atas kunjungannya