Rabu, 29 April 2009

WelKamDet! (1) coba nulis cerita ahhh...

Tobat!

Kamu tinggalah ular tua yang sudah tidak sanggup lagi berganti kulit. Jangan lekas bilang telanjang terhadap ular muda yang masih bangga memamerkan kemulusannya. Masa-masa itu bukan lagi milikmu. Tak perlu kau gusar melihat mereka bertingkah laku. Bilakah engkau teringat akan dirimu?

Suara itu terus saja bergema. Rika, gadis yang baru mengenal parfum itu menamparku. Bukan dengan telapak mungilnya. Tapi, dengan sorot mata kebencian srigala mengincar mangsa. Bengis. Dendam. Bukan sepenuhnya salahnya. Aku juga turut andil dalam kematian papanya. Aku yang telah membuka jalan neraka bagi keluarga mereka.

Aku semakin bersujud. Tak terbendung lagi isak tangis. Tar tertahan lagi dada gemuruh. Bahuku terguncang. Kepalaku terasa melayang. Jika ada balon tiup lantas disebul anak kecil. Tak tahu batas ukuran. Tak paham batas kemampuan. Ia tiup sekehendak hati. hingga kulit balon menjadi berpori. Itulah kepalaku saat ini. Nyaris meledak!

Bayangan masa lalu semakin menari dibenak. Tubuh telanjang. Derit menderit teriring tangisan ranjang. Desah dan lenguh berpacu. Kepuasan birahi tak kunjung menentu. Semakin kupacu semakin menderu. Ah, masa itu….

Tuhan, bukan aku menjerit. Bukan aku meratap. Bukan pula menyesali masa lalu. Biarlah itu hanya menjadi catatan-Mu. Kelak, pertanggunganku menjadi taruhan dihadap-Mu.

Tuhan, Engkau bukanlah mereka. Engkau bukanlah pemurka. Engkau bukanlah penghujat. Engkau bukanlah pengazab. Kalaupun ada secuil bala’ ku terima, ini akibat ulahku jua.

Tuhan, Engkau maha pemurah. Engkau maha kasih. Engkau maha penerima taubat. Pintu maaf-Mu senantiasa terbuka. Engkau persilahkan aku, siapa saja untuk mengetuk.

Persaksikan oleh-Mu wahai Tuhan. Aku bersujud. Ku cium tanah ini. Hanya Engkau maha memahami segala rintihan dan genangan pertaubatan ini. Hanya Engkau Tuhan.

Aku tak sanggup lagi mengangkat kepala. Sujudku semakin panjang. Mataku tak lagi kuasa mengalirkan air suci. Air pengiring kesungguhan taubat ini.

Ular tua, katamu?

----&-----

Pohon itu berdiri tegak. angkuh dengan akar keseramannya. merasa diri dipakai banyak orang berlindung dari sengatan matahari. Pemakaman berlangsung hening. Dalam arti, banyak pengantar. Pelayat dengan segala aksesoris serba hitam banyak berdatangan. Tidak khutbah atau pidato yang bilang, “inilah kematian itu. Inilah yang dijanjikan Tuhan. Pintu diputusnya segala kenikmatan selama ini kalian raskan. Kalian lihat,….”

Sebentar kemudian, setelah orang berpeci itu menangkupkan tangan ke wajah pertanda selesai berdoa, entah apa, aku tak paham, walaupun seharusnya aku paham, lubang satu kali dua meter itu di tutup. orang-orang mulai berlalu. Rika tak lagi berdiri ditempatnya. Ia sungguh risih, muak, jijik, bahkan hanya sekedar untuk melirikku. Aku tak bisa salahkan dia. Tak bisa salahkan dia. Ia tak tahu urusan papanya denganku.

Tiga tahun sudah aku tak menatap langit sambil berpijak di kota ini. Seminggu lalu, aku masih asyik menelaah kumpulan ibu-ibu arisan di dusun lereng bukit. Pinggiran jogja sebelah timur. Dimana, deretan pohon meranggas ketika kemarau tiba menjadi pemandangan unik mencabik mata. Bukan gurun. Bukan padang pasir. Hanya hamparan pohon tanpa daun. Ranting-rantingnya seperti tanduk rusa yang semestinya indah dan menjadi kebanggaan.

Ketika Abel meneleponku, lima hari sebelumnya, aku sedang menyandarkan punggung di beranda pondok. Rumah mungil dari bilik anyaman bambu. Dengan tiang-tiang dari bambu pula. Menatap kembali buku tabungan yang kian menipis. Hidup kembali di alam pedesaan bukan perkara mudah. Tiga tahun terakhir nyaris tidak ada pemasukan sama sekali. Teh manis dalam gelas ukuran sedang selambat mungkin aku hirup. Seruput demi seruput. Bukan untuk menikmati. Apalagi meresapi gula aseli perkebungan di lembah nun jauh dibawah sana. Hanya untuk membunuh waktu. Menemani anganku. Bunyi handphone sudah ketiga kali. Aku masih tetap angkuh. Aku angkat gelas. Dari dalam gelas tulisan layer hp menjadi lebar dan besar. A B E L. sekilas tak terbaca jelas. Kalau kau angkat gelasmu, lantas kau hadapakan pada tulisan didinding, tentulah kau bisa meraba bagaimana tulisan abel itu. Nyaris saja aku mengabaikan suara itu kalau saja bukan nama itu yang muncul.

Kupencet tombol hijau, dan, “halo,” kataku.

“Yun,” jawab Abel. Diam. Terdengar tarikan nafas. Dipaksakan. Berat.

Aku juga tak tahu harus mulai bicara apa. Akhirnya terdengan juga suara lemah. Setengah terisak.

“Abel?” Sambarku cepat. “Ada apa?”

Aku beranjak dari bersandar. Punggung aku tegakkan. Dada aku busungkan. Udara di rongga paru-paru aku pompa setenang mungkin. Walau jujur, aku tak dapat menyembunyikan ketegaran palsu ini. Bagaimanapun juga, hanya ada tiga orang yang tahu keberadaanku. Termasuk nomor rahasiaku. Tidak mungkin tidak terjadi hal luar biasa kalau Abel meneleponku. Tiga tahun, tak ada komunikasi. Abel pegang janji, dan ia adalah sahabat terpercaya.

“Yun,” suaranya terdengar sesak. “Mending loe kesini cepat. Pakai pesawat aja. Pagi ini juga.” Entah, harus dengan apa aku membebaskan penyumbat tenggorokan ini. Dada terasa tersumbat oleh ribuan kerikil coral biasa buat cor bangunan. Gemeresak. Padat. Rebut. Berebutan memenuhi tempat. Takut keburu beku oleh adukan semen dan tak dapat bergerak lagi.

Akhirnya, aku berhasil juga membuat Abel bicara. Papa Rika meninggal dalam keadaan mulut penuh busa. Visum dokter belum juga keluar. Indikasi utama keracunan minuman dalam dosis untuk lima orang. Ditenggak seorang diri. Dikamar dimana aku dan dia mengumbar nafsu hewani. Tiga tahun lalu.


Dan, tulisan inipun harus berhenti sementara. Semoga berkelanjutan… doain ya…..

1 komentar:

  1. Hmmm... ditunggu kelanjutannya deh.. ceritanya muram dan suram.. (semuram speedy yang bolak-balik mati bolak-balik idup lagi...hiks..)

    BalasHapus