Senin, 30 Maret 2009

nikmatnya dhuha

“Yaa Fattahu, duhai Dzat yang Maha Pembuka. Bukalah hati ini untuk dapat memahami setiap pesan yang Engkau kirimkan. Duhai Dzat yang Maha Lembut. Lembutkan hati ini untuk selalu ridho menerima apapun keputusanmu. Sungguh, tidak ada satu kejadian pun yang menimpaku, tanpa kehendak dari-mu.”

Segala hal yang menimpa manusia, tidak ada yang kebetulan. Semua melalui kehendak dan ketentuan-Nya. Tidak ada sehelai daun menguning, kering, lepas dari tangkai, melayang dan jatuh ketanah tanpa sepengetahuan dzat yang tidak pernah tidur. Dzat yang terus menerus mengurus segala ciptaan-Nya.

Ini, cerita aku alami saat harus memilih “terusin dhuha sesuai niat awal, atau stop ditengah jalan nurutin interupsi manusia”. Aku bukanlah pemberi nasehat, bukan pula tukang hujjah. Tapi, sedikit pengalaman yang disharing, tentunya ada manfaat buat yang lain. Terutama untuk diri tentunya. Paling tidak, aku jadi ingat akan kejadian ini. Ahad pagi, 29 maret 2009.

Pulang dari masjid, aku lansung mencuci pakaian. Sementara ngrendhem pake deterjen, cuci piring dulu. Tiap hari libur memang begitu. Secara, lima hari dalam seminggu dari senin sampai jumat aku rutin membelah udara jam 5 pagi. Berkendara motor dari Cikarang menuju Bekasi. Rutinitas kerja. Sabtu-minggu sengaja buat istirahat (otak) dengan menikmati kerjaan (rumah).

Hari ini, istri rencana mengunjungi guru walikelas anakku –nimas, untuk meminjam raport yang harus diphotocopy sebagai persyaratan pengajuan beasiswa di pabrik. Sesegera mungkin, pekerjaan rumah harus kelar. Sabtu kemarin, sebenarnya sudah kesekolah. Tapi, raportnya dibawa pulang untuk dirapikan, kata guru.

Selesai nyuci, sudah jam enam. Langsung tempur ke pekerjaan berikutnya, setrika. Tidak cukup banyak sih, hanya saja isteri suka protes kalau hasil tidak rapi. Perlahan dan hati-hati. lipatan demi lipatan mesti diperhatiin benar. Sudah jam tujuh, tapi, belum seberapa hasil kuperoleh. Biasanya sudah dhuha, “Tuhan, bukan maksudku menyuruh-Mu menunggu. Biasanya sudah setor muka saat jam segini. Sambil ini (nggosok), aku juga tetap ingat (dhuha)” batinku.

Aku beresi alas setrika sudah jam 08:15. Ambil wudhu, ganti sarung dan baju. Bersiap dhuha. “Rangga, mau ikut ibu enggak? Mandi dulu sama ayah!” teriak istri dari dapur.

“Tuhan. Ini, bukan aku menunda-nunda lagi. Ada yang harus aku kerjakan lebih dulu”, terbayang, bagaimana harus mengeluarkan segala kelihaian. Si botak itu pun ku gelandang ke kamar mandi. Sudah biasa, pasti alot dan butuh negosiasi ekstra untuk dapat membuatnya bersedia mandi. Apresiasi setinggi-tingginya untuk istri yang tabah memandikan Rangga tiap pagi dan sore.

Sarung copot lagi, ganti handuk. Mandiin dan makein minyak kayu putih, bedak. Eh, tinggal pakai baju masih berbelit juga. Lebih tiga kali dipilihin baju tak ada yang cocok. “Rangga mau pakai baju keren, bukan cakep”, katanya, “klo cakep ini, klo keren ini”. Gayanya sok ngajarin. “Kalau ngaji pake baju yang ini, kalo mau pergi pake ini aja. Cakep” celoteh itu bukannya berhenti malah makin jadi.

Akhirnya, “Tuhan, aku datang menghadapkan wajahku padamu”, batinku. Melirik jam sudah setengah sembilan.

Niat 12 rokaat, mentok dhuha. Dari rokaat, ruku, sujud panjang kulakukan, kali ini kupersingkat. Ingat janji mau nganterin istri. kalau panjang itu, bacaan rukuk dan sujud masing-masing diresapi sampai 10x. kalau singkat, berarti cukup sekali saja.

Terdengar langkah istri menuju telpon. “hallo. Iya. Ini ibunya nimas. Oh gitu, ini bu hikmah ya. Kenapa harus jam sembilan. Hayoo, anak muda nih. mau kemana sih. Ini baru nyalain kompor mau masak dulu. Ayahnya nimas juga baru mulai sholat tuch. Ya udah, tunggu jam setengah sepuluh ya. Assalamu ‘alaikum…” suara istri. Wah, kurang khusyuk juga nih dhuhanya. Belum tentu juga. Toch kuping tak perlu disumpelin. Tak perlu budeg untuk menandakan khusyuk atau tidak.

Selesai rokaat ke-6, “yah, kata ibu udah ditungguin bu hikmah” bisik Nimas. Istriku tidak bilang sendiri. Aku hanya tersenyum. Berdiri lagi, nerusin sholat. “Tuhan, engkau yang menggenggam hati dan jiwaku. Tetapkan aku dalam petunjukmu” do’aku.

Takbiratul ikhram mengawali rokaat 9-10, “Ih, ayah gitu deh. Gak enak kan sama bu hikmah” teriak istri sambil masih goreng bawang merah di dapur. Aku tetap mencoba untuk konsen di dhuha. Selesai 12 rokaat, aku lipat sarung. Ganti celana panjang, “yuk!” kataku.

Ternyata istri bikin lemper, spesial bin khusus buat bu hikmah –si wali kelas itu- sebagai buah tangan katanya. “belum jadi isi bensin?” tanya istri. makin belipet aja tersirat diwajahnya. Seharusnya bisa ambil jalan pintas, jadinya lewat depan. Motor juga perlu minum kan?

Masuk pasar induk cibitung, jalan macet. Yaa fattahu, yaa fattahu, …. Dalam hati terus aja melantunkan kalimat itu. Disamping mesti muter, ternyata, begitu masuk arah kartika wanasari ada pawai PKS. Istri udah makin ramai aja. “Bukannya lewat kompas malah lewat sini” katanya. Aku malah menikmati pawai itu. Pelan. Tanpa nyelip. Teratur. Rapi. Ada pandu-nya juga, tukang ngatur barisan. Beda memang sama pawai lainnya.

Jarak dua kilo mestinya lima menit. Lebih 20 menit belum juga sampai ke belokan. Masuk jalan belakang, tembus ke sebuah perumahan. “Ini perumahan apa” tanya istri. “tridaya tiga, dua-nya berarti di depan. Mesti tanya dulu. Blok apa tadi” kataku.

Ternyata, perumahan itu bukan tridaya. Tetapi trias. Berhenti sebentar, matiin motor, buka helm. “pagi pak. Ma’af tridaya dua dimana ya?” kataku pada dua orang yang duduk santai di pinggir lapangan. “wah, mas mesti keluar dulu. Baru ngikutin jalan. Dari sini, belok kiri, kanan, kiri, kanan, kanan lagi, kiri. Trus ada cucian, kiri, trus, kanan,….”. “iya pak, terimakasih”, jawabku.

“Ngerti yah?” tanya istri. “Enggak. Kiri-kanan aja mudhengnya. Belok kalau gak kanan ya pasti kiri. Bapak itu gak salah kok” kataku. Makin sewot aja tuch istri, “gimana sih, katanya tridaya ngerti. Udah nyampe sini malah bingung. Kembali lagi lewat jalan tadi ada pawai,….”

“yaa fattahu, yaa fattahu,….” Batinku. Dalam hati ketawa aja. Memang dasar wanita, bisanya nimpalin aja kebingungan orang. Herannya, hati koq tetap aja yakin sama arah yang kutempuh. Pasrah aja. Yakin sama belokan yang dipilih. Biar gak ketahuan kalau bingung. Sampai belokan ke sekian, ada sepasang cewek naik mio. Persis didepanku. Ikutin aja. Eh, bener nyampai gerbang keluar.

“Itu tuch, ada 39b” kata istri dibelakang. “Kata bu hikmah ngikutin angkot itu. Trus nanti nanya”. Aku jadi ragu sejenak, ikutin jalan terus, atau balik arah mbuntutin angkot. “Udah, berenti dulu, nanya aja. Nyasar, makin jauh entar. Tuch ada tukang bensin” istri nasehatin. Nadanya nyuruh sih. Sengal gitu. Lebih lembut kalau ditulis –nasehatin- kan?

Dari petunjuk, arah sudah benar, depan dikit ada masjid belok kanan. Dekat ruko-ruko, itulah tridaya dua. Pas pertigaan, untuk belok kanan mesti nyebrang. Ketemu pengendara motor juga, sepasang laki-perempuan. Aku lihat dia, dia lihat aku. Seakan tawar menawar, siapa mau jalan duluan.

Wanita diboncenganya nempelin hp ke kuping. Mungkin sedang nelpon seseorang. Kayaknya sih. Kalau gorengan tak mungkin ditempelin kuping, tentu saja. Motor itu ngasih kesempatan padaku buat nyebrang lebih dulu. Ternyata, saling memberi jalan lebih dulu lebih enak ketimbang sama-sama ngotot. Aku tersenyum, dia juga tersenyum. Dibelakangku ada beberapa motor lagi. Membuat orang itu harus berhenti beberapa saat untuk melanjutkan perjalanan.

“Ayah, ayah, ayah! Berhenti. Itu ibu hikmah.” Teriak istri. Subhanalaah. Ternyata tuch orang yang ngasih jalan, ya itu makhluk yang dicari. Yang didepan itu kakaknya (atau pacarnya, aku tak ada kepentingan buat nanya) ternyata.

Aku minggir, nyari parkir. Istri turun dan langsung nyamperin wanita itu. Terjadilah percakapan yang hanya dimengerti kaum perempuan. Aku tak merhatiin, dan hanya senyum lega sambil megangin si botak biar gak lepas. Maklum, rangga suka kabur klo ditempat ramai gitu. Sekira lima menitan, mereka berdua ngobrol. Saat seperti itu, wanita tidak membutuhkan laki-laki yang hanya akan ngrecokin pembicaraan. Herannya, koq ketawa-ketawa. tidak seperti selama bonceng motor tadi.

“Ayah, kita pulang aja. Bu hikmahnya udah mau pergi” istri berkata.

Sesampai dirumah, aku coba lihat hp ada 3 kali miscall. 09:48, 09:53, 09:58. nomor yang sama. Hikmah. Berarti, orang tadi nempelin hp dikuping misscal ke hp istriku. Tapi, ia tak dengar. Padahal dia pegang.

Aku tersenyum. Tak lepas tersenyum. Dhuha. Dzikir -yaa fattahu. Telah mempermudah urusanku (urusan istri sih sebenarnya. Tapi, jadi urusanku juga akhirnya). Tidak ketemu dirumahnya, tapi, ketemu di persimpangan jalan.

“Bu hikmah tadi, buru-buru mau jemput saudara juga. Sudah jam setengah sepuluh tidak datang. Ditunggu 15 menit, akhirnya raport dibawa sekalian. Siapa tahu ketemu di jalan. Tadi call hp tidak diangkat. Mana kedengeran. Suaranya kecil banget. Lagian di jalan kan ramai. Lemper yang dibikin tadi juga udah dikasihin. Makasih banget, katanya. Koq jadi ngrepotin.” Kata istri menjelaskan tanpa diminta. Kalau kemauan sudah terlaksana, wajahnya cerah, ceritanya susah dipotong. Mesti dengerin. Lagi pula, aku juga suka nglihatin istri klo lagi cerita gitu.

“Berarti, raport udah dapet. Bu hikmah udah ketemu. Udah gak ngomel lagi dong….?” Candaku.

“Lagian. udah tahu ditunggu. Itu tadi kalau nyasar gimana. Trias koq di kira tridaya. Jauh amat. Makannya, kalau….. “

aku:”!@@#$%^&**()*(_+&….”

1 komentar: