Rabu, 20 Mei 2009

tragedi sore hari

“Cepet amat shalatnya”, tanyaku.

“Kan udah apal”, jawabnya.

Aku meletakkan sejenak buku ‘sirah nabawiyah’. Menatap serius sebentar. Menggantungkan pandangan pada sesosok wajah mungil itu. Ceria dan kekanak-kanakan masih memancar. Polos. Ya, namanya juga masih bocah. Masih anak-anak. Bukan cuma tubuhnya saja, jiwanya juga masih bocah, tentu saja.

Jadi ingat tulisan beberapa waktu lalu, “tumbuh badan sebatas usia, tumbuh jiwa sebatas usaha”. Sebagus bagus badan, ada titik klimaksnya. Kemudian menurun, ada yang drastic, ada pula lambat. Intinya, akan nyampai juga ke titik akhir. Mati. Hancur. Lenyap.

Beda dengan jiwa. Ia akan tumbuh terus, terus, dan terus. Tidak kembali ke-mula. Semakin dewasa, matang, akhirnya suci dan bersih kembali sebagaimana fitrahnya.

“Wahai para hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan beri petunjuk” (hadits riwayat muslim).

Waduh. Pantas aja tuch bocah masih ‘express’ setiap shalat. Nilai dan existensi dari gerakan apalagi bacaan belum mengena. Dalam arti, “dia masih tersesat”, sehingga belum faham betul akan kebutuhan shalat. Dia pikir “pantesan aja, shalatnya lama. Belum hafal sich bacaannya. Takut salah. Pelan-pelan”. Padahal sich, ya gitu deh.

“Coba. Kalau emang udah hafal, kalau takhiat baca apa?” tanyaku kemudian.

“Tasyahud lah. Cemen pertanyaan gitu mah. Ngapain sih ayah nanya-nanya. Pasti mau usil deh”, celetuk tuch bocah.

“Trus, tasyahud tuch intinya apa?”

“Gak tahu. Pokoknya bacaannya udah apal, ya udah, baca. Shalat kan gitu” jawabnya polos.

Dan, itu jawaban dari seorang anak yang belum haid. Artinya, masih bocah. Bener-bener bocah. Belum kena dosa karena belum baligh.

Lantas, aku coba jelasin dengan bahasa paling sederhana. Maksudku sebenarnya, ya nasehatin diri sendiri. Biasanya, kalau ngomongin orang lain, ingatan akan lebih kuat. Prinsip satu ilmu “bagilah, maka akan semakin bertambah”.

Inti tasyahud, ya shalawat. Setelah, sebelumnya didahului dengan kepasrahan bahwa “Segala kehormatan, kemuliaan, kebahagiaan dan kebaikan adalah milik Allh”.

Sementara inti shalawat itu sendiri, “Allahumma shali ala Muhammad, wa ala ali Muhammad”. Kalau mau komplit (dan lebih afdol) terusin sampai ‘innaka hamidummajid’. Artinya, (penekanan disini) ‘dan keluarga Muhammad’.

“Emang, Muhammad punya keluarga?” tanyaku tiba-tiba.

“Ya punya lah. Ayah juga punya keluarga. Ibu. Anak. Tuch, si botak tuch keluarga namanya”, jawabnya mulai ketus. “Aneh. udah tahu pake nanya”

“Trus, keluarganya Muhammad tuch siapa aja. Jadi pengin kenal. Tinggalnya dimana sih?”

“Ya gak bisalah. Orang udah pada mati. Gimana mau kenalannya?”, makin sewot tuch. Biasanya emang gitu sih. kalau di tanya soal yang saben hari dikerjain. Dan dikiranya udah bener gitu. trus, ada yang sok ngetest. Bawaannya sewot aja. ‘ngapain loe nanya-nanya, udah tahu juga. Ngerti-an juga gue ketimbang eloe. Usil amat. Urusan sama orang lain’.

“Kalau gak kenal, gimana mau kirim shalawat segala. Ngapain juga kirim-kirim. Mending buat diri sendiri. Gak kenal ini.”, kataku. Trus, aku tegakkan punggung dan ambil nafas siap-siap deklamasi, “Allahumma shalli ala ana, wa ala ali ana. Duit koq dikasih-kasihin ke orang. Enak juga buat sendiri. Bisa buat beli es krim”

“Ih. Ayah nih aneh ya. Shalawat tuch hanya untuk nabi. Kalau ayah gak bisa dikasih shalawat. Emangnya ayah suci. Main-main dosa loh! Tanya sono sama ustadz! Yang ada tuch dikasih syafaat. Makanya, perlu ada shalawat biar dapet syafaat!”, waduh. Marah bener nih bocah. Klo diterusin, bisa ditimpuk raket nyamuk (lagi). Mana ada strumnya pula. Sakit sih enggak, kaget sama gatelnya itu. Ya udah dah. Mendingan stop aja. biarin bocah 10 tahun itu asyik dengan dunianya.

Tapi,

Aku jadi mikir juga. ‘wa ala ali Muhammad’, dan keluarga nabi Muhammad. Siapa aja ya istrinya. Siapa aja ya anak-anaknya. Ah, mesti baca sirah nabawiyah lagi nih kayaknya. Yuk!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar