Rabu, 06 April 2011

habis seteru terbitlah mesra



Sosok itu menatap diri. Bulat telur membingkai rahang segitiga. Tulang pipi sedikit menonjol berpadu lengkung tipis bulu alis. Mata cekung. Sembab. Sosok yang seharusnya indah, lenyap gara-gara menangis semaleman.

“Aku tidak bisa begini terus,” suara batin menjerit. Bibir digigit lirih. Begitu jujur si cermin memantulkan apa-adanya. Membuat sosok–yang seharusnya indah--itu kian gelisah.

“Ndrew…,” suara hati lemah mendesah, “aku tahu aku salah. Aku mau minta maaf. Besok kita ketemu, ya?”

“Ya, kita ketemu ditempat biasa.” Sosok pemuda santun seolah bicara dari balik kaca.

Sore hari.

“Perseteruan kita tidak seharusnya berlarut-larut,” kata Andrew. “Semalam adikmu ke rumah. Dia banyak cerita. Ini murni salah paham. Maafin aku juga, ya.”

Kedua sosok itu saling berhadapan. Semilir angin danau menyisir rambut mereka. Jabat erat. Saling tatap. “Hmmm, bersama pertengkaran selalu ada kemesraan,” bisik lirih salah satu sosok itu. Ada luka kecil belum mengering dibibir. Bekas gigi mungil tertancap di sana.@

2 komentar: